PART 04: SALTING BRUTAL

76 5 0
                                    

Masih terhitung pagi pukul 06.15 saat Via mengomel seraya berkacak pinggang. "Please deh, sanyo kapan sih dibenerin? Sengsara banget air keran surut. Mana perabot kotor banyak banget lagi hari ini!"

Aisha yang habis menjemur pakaian melirik tumpukan perabot kotor di lorong balkon. Seakan-akan itu bukan perkara besar, ia melewati Via yang sedang mendumal begitu saja. Setelah meletakan detergen ia beralih membuka lemari dimana tepak nasi disusun rapi. Ya, pagi ini ia mengawali kegiatan dengan mencuci pakaian, mendengarkan petuah Gissya kemarin Aisha pikir ada benarnya juga, tapi entah kedepannya, ia sendiri terkadang tak bisa mengendalikan kemalasannya.

Membuka penutup tepak, ia mendapati orek tempe didalamnya. Setelah mengambil nasi ia kemudian duduk di lantai, diiringi desah nafasnya yang alami, lelah.

"Udah sarapan belum?"

"Belum," singkat Via. Tak ada gunanya mendumal, gadis itu mengikuti jejak Aisha yang lebih dulu menyantap menu sarapannya.

Kemudian mereka duduk berdampingan, Aisha bisa melihat jelas wajah dongkol sahabatnya. "Nanti aku bantuin," celetuknya sembari mengunyah perlahan-lahan. Karena ia tau, Via hari ini piket sendirian sebab ada beberapa partnernya yang sedang pulang, ada pun, saat ini dia sedang sakit.

"Makasih."

Aisha praktis menatap heran wajah sahabatnya. Kata 'terima kasih' yang keluar dari bibir Via terdengar menggelikan, seolah-olah mereka orang asing yang baru mengenal satu sama lain. Namun, melihat wajah tulus Via kala mengucapkannya, Aisha urung menggoda gadis itu. Dari sorot matanya saja sudah mempertegas bahwa dia benar-benar sedang lelah hari ini. Paham, bahwa faktornya bukan hanya dari masalah piket, jika mood Via sudah hancur begini tak lain dan tak bukan karena Zhara-adik dari pacaranya kembali berulah. Lagi. Entah yang keberapa kali.

"Kenapa lagi?" Aisha memberanikan diri bertanya, meski ia tau pertanyaannya hanya akan semakin merusak suasana, tapi bukankah ini lebih baik daripada dipendam?

Ia tersentak diluar dugaan saat Via menghambur ke dalam pelukannya seraya terisak. Aisha membeku, sadar bahwa perlakuan Zhara kali ini benar-benar keterlaluan. Diusapnya bahu Via dengan lembut berharap gadis itu tenang, segelas air ia sodorkan kepada sahabatnya.

"Udah, capek. Nih minum dulu."

Aisha membiarkan Via tenang terlebih dahulu, ia kembali menyendok nasi, mengunyahnya lamat-lamat lantas menelannya susah payah. Dalam decap itu, ia menatap sahabatnya dengan tatapan gamang.

Sesakit itukah? Sampai orang yang biasanya terlihat ceria pun akan rapuh hanya karena cinta? Darisana ia mencoba menyimpulkan, bahwasannya cinta bisa menjadi kekuatan bagi seseorang atau bahkan belati tajam dalam waktu singkat. Keraguan kembali datang tak ubahnya hantu yang terus mengejarnya, hingga perlahan mulai mengikis keyakinan. Haruskah ia mempertahankan rasa ini sampai mendapat jawaban yang pasti dari sang pujaan hati? Atau akhiri sekarang sebelum datang sakit hati yang lebih dalam?

Entah.

* * *

Air sungai rupanya sedang pasang karena hujan tadi malam. Kedua gadis itu lebih memilih menaruh perabotan di benteng semen demi keamanan, karena biasanya pinggiran sungai akan licin sehabis hujan, biarlah sedikit repot mengerjakannya daripada hal yang tak diinginkan terjadi.

"Aku yang gosok, kamu yang bilas yah."

Aisha mengangguk. Lantas ia menuruni beberapa anak tangga agar memudahkannya mengambil air. Menunggu Via yang masih berkutat dengan sabunnya, Aisha iseng melemparkan beberapa batu ke tengah sungai.

"Emang tu anak ngomong apalagi sih?" gerutunya sebal.

"Kali ini aku bener-bener capek banget sama Zhara, Sha." Via susah payah menahan sesak mengingat kejadian tadi pagi.

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang