PART 24: GARIS WAKTU

48 6 0
                                    

Keesokan paginya, Aisha terbangun dengan bayang-bayang pertengkaran hebat kemarin yang masih mengganggu pikirannya sampai saat ini. Setelah cukup lama mengumpulkan kesadarannya akhirnya ia sadar bahwa dirinya berada di ruangan dengan eksistensi berbeda dan bau lavender yang khas. Pagi ini, ia menemukan Ridan tertidur memeluknya, dan Agis yang terlentang pulas tepat di sisi kirinya. Semalam ia terjebak dalam sebuah mimpi buruk, dimana dirinya kehilangan arah ditengah hutan rimbun yang gelap dan mencekam, hingga membuatnya nyaris mati karena ketakutan dan tak ada jalan keluar.

Keberadaan Ridan dan Agis disisinya membuat ia memahami satu situasi, bahwa setelah pertengkaran kemarin dirinya sekarat setengah mati dan berakhir terbaring disini, dengan tubuh yang lemas bukan main. Untuk saat ini, tak banyak yang ia lakukan, atensinya masih terpusat pada plafon berwarna gading yang entah kenapa lebih menarik daripada objek yang lain. Bantal yang berada di bawah kepalanya, sama mengganjalnya dengan perasaan Aisha perihal kejadian kemarin. Entah kenapa setelah meluapkan semua emosinya yang selama ini ia pendam begitu dalam tak lantas membuat perasaannya membaik, bahkan semakin runyam sebab dirinya didera penyesalan.

Tak lama, derit pintu terdengar memekakan telinga. Ayah muncul dengan nampan berisi satu mangkuk bubur dan segelas susu, gelagatnya persis seperti pramusaji. Bahkan ia masih tak bisa mengatakan apapun saat ayah membangunkan kedua adiknya sedikit memaksa sebab keberadaan anak-anak itu ditakutkan mengganggunya. Setelah kepergian Ridan dan Agis dengan wajah suntuk dan ngantuk berat, Ayah lantas mengambil duduk di sampingnya selepas membuka gorden dan jendela untuk kemudian mengizinkan cahaya mentari masuk.

"Agis! Cepat mandi jangan tidur lagi! Sekolah, ini hari selasa bukan hari minggu!" serunya dari dalam kamar hanya untuk mendengar anak itu menggerutu sebal karena agenda tidurnya harus batal.

Aisha yang memang tak punya kekuatan bahkan untuk sekedar menggerakan tubuhnya ke samping pun sampai harus dibantu oleh ayah untuk duduk dan menyandar di kepala ranjang.

"Kakak masih pusing gak kepalanya?"

Aisha tidak berpikir dua kali untuk mengangguk, sebab tak bisa dipungkiri kepalanya masih terasa berat sampai saat ini.

"Sarapan dulu, nanti minum obat."

"Mau ayah suapin atau makan sendiri?"

"Sendiri aja yah." Aisha bersuara nyaris tak terdengar, tangannya bergerak pasti mengambil alih mangkuk di tangan lelaki itu.

Sementara ayah, tatapan khawatir tak pernah lepas dari sepasang matanya acap kali dirinya menatap sang putri. Melihat kondisi Aisha sekarang, mengingatkannya pada kejadian dimana istrinya meninggal dan putrinya itu begitu terpukul dengan kepergiannya, sekarang yang ayah cemaskan masih sama, takut jika Aisha kembali melukai dirinya sendiri. Karena setelah tau kejadian kemarin sore membuat ayah sedikit tak percaya sebab Aisha yang ia kenal tidak seagresif itu, bahkan selama hidup dengannya ayah tak pernah menemukan putrinya marah, itu berarti ada sebuah kesalahan besar yang membuat singa terbangun dari tidurnya.

"Kak? Ini apa?" Ayah menunjuk pada jemari Aisha yang lebam dan goresan ditemukan di beberapa bagian.

Aisha tidak menjawab, tapi pertanyaan bernada dingin fan sarat akan lelah itu sukses menghentikam gerak tubuhnya.

"Sebenarnya apa sih yang membuat kakak terus seperti ini? Apakah tidak ada jalan lain selain melukai diri kakak sendiri? Apakah masalah ini terlalu berat sampai-sampai tak bisa didiskusikan dengan baik dan mencoba cari jalan keluar?"

Aisha terdiam menunduk, satu sendok bubur terpaksa ia letakkan kembali, karena ia merasa tenggorokannya tak bisa bekerja dengan baik ketika sesak kembali menyerangnya secara bertubi-tubi. Ia menarik nafas seolah dengan begitu bisa sedikit melegakan pernafasannya, tapi nihil.

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang