"Wa'alaikumsalam."
Ayah membukakan pintu untuk tamu yang datang seraya menjawab salam dari dalam, kali ini yang datang bukan kerabat ataupun tetangga yang biasa membantu-bantu di dapur untuk acara tahlilan nanti malam, tapi tiga orang gadis berparas cantik yang menyalami tangannya. Dari penampilannya sudah pasti ini santri, sebab dari cara memperlakukan orang tua saja sudah terlihat berbeda, begitu sopan dan beradab.
"Silahkan masuk. Duduk-duduk!" Ayah membukakan pintu lebih lebar dan menyambut dengan ramah. "Temennya Aisha, yah?"
Ayah tak tau saja bahwa dua gadis lainnya masih satu komplek dengannya meski jaraknya agak jauh.Sofa, Tata maupun Via mengangguk kompak disertai senyum canggung yang kentara.
"Ini pada pulang mendadak atau emang udah libur pondok?" Ayah membuka topik seraya membuka satu persatu tutup toples khas ibu-ibu. Memang itulah tugasnya saat ini, bukan?
"Libur pondok, pak."
"Mulai libur tanggal berapa? Maaf yah Aisha malah pulang duluan," kekehnya.
"Nggak kok pak, kita sepenuhnya memaklumi. Saya kesini mewakili segenap santriyah An-nur untuk menyampaikan bela sungkawa, turut berduka cita atas meninggalnya bunda Aisha."
"Terima kasih, terima kasih. Duh, jadi repot-repot melayat kesini, padahal gak papa gak datang juga. Kasian jauh-jauh, apalagi anak gadis begini."
Sofa tersenyum. "Enggak repot kok pak, kita sekalian mau jenguk Aisha. Sekarang, gimana keadaannya? Aisha pasti terpukul banget ya?"
Ayah menghela nafas. "Aisha gak pernah cerita sama bapak. Tapi kemarin dia baru keluar dari rumah sakit." Pernyataan itu sontak membuat ketiganya terkaget-kaget. Bukankah seharusnya mereka tak heran lagi? Sebab mereka sudah tau bagaimana sensitif dan rentannya pikiran Aisha di pondok? Anak kucing hilang satu saja dia pikirin sampe susah tidur. Apalagi kematian ibunya, pasti Aisha sangat terguncang.
* * *
"Kakak mau keluar. Itu ada tamu loh, gak baik diem aja di kamar."
"Kakaaak,,, kata ibu dokter juga kakak harus istirahat total, gak boleh banyak gerak!" tuturnya dengan wajah sok serius. Apasih?! Aisha terlalu gemas melihatnya.
"Kata bu dokter juga kakak gak punya darah--" Dan ini lagi, ingin rasanya ia mengunyel-unyel si bontot sampai anak itu menangis.
"Bukan gak punya darah! Tapi darahnya sedikit, makannya kakak pusing terus!" semprot Agis kepada adiknya.
"Udah! Kok jadi berantem?" Aisha menengahi seraya menyingkap selimut, tak peduli seberapa keras Ridan memeluk tangannya saat ini.
"Kakak disini aja, biarin tamunya yang kesini--"
"Gak baik ngomong gitu, adek. Tamu itu harus dihormati--"
"Dihormati? Gak usah, orang tamu yang datang itu kita, santai aja kali. Adek kamu gak salah, udah kamu diem disana istirahat!" Tiba-tiba ocehan Via memecah ketegangan. Gadis itu tersenyum tanpa dosa seperti biasanya. Perlahan Aisha kembali membenarkan posisinya dan membiarkan kedua adiknya keluar kamar. Kemudian pinggiran ranjang yang kosong diisi oleh mereka.
"Sehat Sha?" Tata datang menghampiri seraya menatap sendu dirinya yang mungkin terlihat begitu mengenaskan di mata mereka.
"Alhamdulillah sehat."
"Harus dong! Amparan bawah gak bakal hidup tanpa kamu. Sehat nomor satu, biar bisa berangkat ke pondok lagi yakan, Sha?" ujar Sofa menyemangati.
Gadis itu hanya tersenyum tipis. "Do'ain aja biar aku bisa berangkat lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
أدب المراهقينBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...