"Kak, temen kakak ada yang mau main ke sini? Kapan?" Bocah berusia 7 tahun itu bertanya seraya menaiki kasur dimana Aisha terduduk lemas bersandar di kepala ranjang.
"Ayah yang tau. Kakak kurang tau siapa yang mau datang."
Aisha tidak berbohong tentang ini, dua hari berturut-turut dirinya harus terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri, karena katanya 17 Februari dini hari, ayah menemukan dirinya dalam keadaan pingsan dengan luka menganga sepanjang 3cm di lengan kirinya.
"Kak." Ridan menatap lekat perban yang membebat lengannya. Sedangkan ia menunggu apa yang akan dikatakan adiknya itu. "Kakak sengaja lukain tangan kakak biar bisa liat bunda, 'kan? Kalo cara ini bisa liat bunda, aku juga mau lakuin itu." Ucapan itu begitu ringan keluar dari bibir mungil anak usia 5 tahun yang jelas membuat Aisha terkesiap.
Cairan bening tiba-tiba saja menganak sungai di pelupuk mata Aisha saat mengikuti arah pandang anak itu. Andai semua orang tau, keinginan untuk self harm bukanlah dari dirinya, tapi dari keadaan yang terus menerus memaksanya untuk melakukan hal ini, karena baginya dengan menyakiti diri sendiri adalah cara terbaik untuk menenangkan diri, melihat bagaimana darah segar mengalir, ia rasa semua keresahannya ikut mengalir, dan luka yang menganga adalah pintu keluar bagi segala sesak yang ia pendam.
Aisha tak tau pasti kapan ia menjadi monster bagi dirinya sendiri, tapi semenjak Agis lahir menyapa dunia 7 tahun yang lalu, ia merasa sikap sang bunda berubah drastis, darisana ia selalu merasa diacuhkan oleh papa. Dan parahnya sampai akhir hayat mereka, orang tuanya tidak pernah tau bahwa putrinya ini pernah menjadi korban bully di sekolahnya. Kerasnya didikan sang bunda sampai membuat ia tak berani memberi tahu perihal luka sobek di pahanya, yang kini menjadi kenangan abadi semasa SMP. Juga kesibukan ayah merenggut tempatnya untuk berkeluh kesah, sampai mereka tidak pernah tahu bahwa dirinya pernah dipaksa mengakui mencuri buku paket sains, yang bahkan ia sendiri tak pernah menyentuh benda itu. Ia harus berakhir di tengah lapangan, di bawah teriknya sinar matahari sampai dirinya tak sadarkan diri adalah akhir dari hukumannya.
Hanya berselang 2 tahun setelah lahirnya Agis, hadirnya Ridan semakin membuat dirinya merasa sebagai anak yang tak diinginkan lalu dibuang. Kedua bocah itu seperti alien yang menyedot semua kasih sayang dan perhatian yang diberikan orang tuanya. Entah sadar atau tidak, saat ia tak sengaja menangisi Agis, teriakan dan bentakan bunda menjadi satu-satunya hal yang ia takuti di dunia ini, bahkan ia lebih baik dihakimi secara fisik daripada di teriaki seolah dirinya memang manusia tak berguna di dunia ini. Atau saat dirinya mendapatkan nilai 90 di sekolah, lalu papa memanggilnya untuk sekedar duduk di sampingnya, namun rupanya tutur kata lelaki itu adalah sebuah cemooh yang dibungkus dengan nasihat dan tuntutan yang dibalut oleh harapan. Sengaja atau tidak, luka itu tetap ada, bahkan membekas menjadi sebuah trauma. Hubungan darah tidak selamanya menjamin untuk selalu memberikan kasih sayang dan kebahagiaan, nyatanya banyak luka batin yang ditorehkan oleh orang dekat kita sendiri.
Namun, orang tua adalah orang tua, eksistensi mereka adalah ratu dan raja yang tak pernah pantas untuk disalahkan. Kita hanyalah sekumpulan tanah yang diperjuangkan mati-matian oleh mereka yang disebut orang tua kita. Hingga tak heran kenapa kita seringkali disebut manusia tak tau diri saat kita mencoba membenarkan untuk sebuah pernyataan mereka yang selalu dilebih-lebihkan.
Tok! Tok! Tok!
"Boleh ayah masuk?" Jenis pertanyaan yang berhasil membuat Aisha tersenyum. Bagaimana bisa ayah bertanya saat dirinya sudah memasuki kamar dan mengetuk pintu yang terbuka. Air mata gegas ia seka, untuk kemudian sedikit bergeser, memperjelas bahwa gelagatnya secara tidak langsung memberi izin sang ayah untuk turut duduk bersama-sama diatas ranjang.
"Ayah cariin kemana-mana. Taunya kalian disini." Lelaki berkaca mata itu mengacak kasar rambut adik pertamanya hanya untuk membuat anak itu menyengir lebar. "Lagi apa? Jangan ganggu kakak lagi istirahat."
"Enggak kok, yah. Aku sengaja panggil mereka berdua kesini karena aku bosan," jawabnya.
"O'iya! Ayah lupa tadi masak pudding buat kamu. Bentar--"
Ayah membeku ketika Aisha mencekal pergelangan tangannya. Kenapa tangan putrinya begitu dingin, sedingin terakhir kali ia mengenggam tangan istrinya.
"Nanti biar Agis yang ambil, ayah duduk aja disini," pintanya. Entah kenapa, ketika ayah menatap wajah Aisha begitu lekat, suasana menjadi sendu, dan suhu kamar ini terasa merendah. Ayah benar-benar menemukan bunda dalam wujud Aisha, dan dirinya tiba-tiba ditikam rindu setengah mati pada wanita yang baru 1 tahun ia nikahi. Hingga tanpa sadar air mata perlahan menetes tepat di punggung tangan anak gadisnya."Ayah...," lirih Ridan, anak kecil itu merangkak lantas memeluknya, disusul oleh Agis. Alih-alih ikut memeluk ayahnya seperti kedua adiknya, ia malah menunduk dalam-dalam menyelami elegi luka yang lagi-lagi terasa perih. Ia tak tau sampai kapan peratapan ini selesai, namun melihat ayahnya barusan membuat hatinya berdenyut kesakitan.
"Ayah maaf karena aku terus menerus menjadi beban buat ayah." Untuk pertama kalinya, Aisha akhirnya berani memperlihatkan air mata di depan ayahnya. "Maaf karena aku jadi anak yang gak berguna--"
"Gak ada, gak ada sejarahnya anak yang gak berguna di dunia ini. Dimata ayah, kamu adalah kakak paling hebat bagi kedua adik kamu, kamu mampu menjadi sayap pelindung ketika mereka membutuhkan perlindungan, hal itu bahkan membuat ayah takut, takut kalo ayah gak bisa menjalankan peran sebagai orang tua, sebaik kamu menjalankan peran sebagai kakak yang kuat padahal ayah tau kamu sama-sama hancur. Saat ayah nemuin kamu dalam keadaan penuh darah, hati ayah sakit. Sakiiit banget, sampe ayah takut kehilangan kamu sama seperti takut kehilangan bunda. Ayah paham bagaimana kehilangan untuk kedua kalinya, tapi apa dengan begini bisa membuat bunda tenang? Bisa membuat papa tenang? Mereka pasti gak suka liat kakak kaya gini."
"Ayah ngerti, mungkin ayah gak akan pernah bisa gantiin posisi papa di hati kamu, tapi ayah akan terus berusaha jadi seorang ayah buat kamu dan adik kamu, jadi rumah untuk tempat ternyaman ketika pulang. Ayah juga paham, pasti kakak gak nyaman. Tapi, ketika kakak butuh tempat untuk bercerita, ayah selalu siap mendengarkan. Disini, ayah akan tetap disini buat kamu."
Alih-alih tenang dengan penuturan sang ayah, hatinya malah semakin terpukul dan berdarah-darah sebab selama ini dirinya telah menyia-nyiakan lelaki pengganti papa yang tak kalah baiknya, pedihnya lagi, ayah selama ini sadar atas sikapnya yang acuh namun lelaki itu terus menutupinya dengan berusaha menjadi ayah yang baik tanpa membeberkan bahwa selama ini ayah terluka atas sikapnya.
Dan kini, dalam pelukan hangat seorang ayah, dirinya benar-benar merasakan definisi sebuah kehangatan yang diberikan orang tua. Rasanya ia baru saja menemukan sebuah ketenangan dalam arti lain selain ketenangan ketika ia menyakiti diri sendiri. Setelah ini, ia berjanji akan memanfaatkan sisa waktu yang ada sebelum orang berharga disekelilingnya meninggalkannya seperti papa dan bunda. Mulai hari ini, kedepannya, ia janji untuk bersikap lebih hangat dan perhatian kepada sang ayah, selamanya. Karena ia tersadar bahwa tak ada lagi tempat berlindung yang akan ia tuju selain Ayah.
* * *
TBC
To Be ContinuedMasih edisi abu-abu awan mendung😷
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...