PART 11: KITA DALAM TARIAN PENA

44 6 0
                                    

Malam ini, dibawah remangnya cahaya lampu LED amparan bawah, Aisha kebingungan, entah kemana ia harus mencari rasa kantuknya dan membuat dirinya ikut terlelap seperti sahabat-sahabatnya yang sudah lebih dulu pergi ke alam mimpi. Kematian sang Papa bukanlah salahnya, namun entah bagaimana ia selalu menemukan dirinya mematung disebuah pekarangan rumah dimana bendera kuning berkibar-kibar tanpa melakukan apapun, padahal keranda diselimuti kain hijau ada tepat didepan matanya lengkap dengan tangisan yang menjadi lagu pengiring paling merdu. Hingga ingatan itu perlahan membuat sekujur tubuhnya terasa kebas dan ia berakhir tak berkutik pada kenyataan dimana raga sang papa tak lagi bisa ia peluk.

Di akhir bulan januari ini, tepat satu tahun atas meninggalnya sang papa, Aisha sadar ada separuh jiwanya yang raib dan ikut terkubur bersama tanah yang memeluk raga cinta pertamanya. Ia menemukan dirinya tak lagi sama, dibalik manisnya senyuman yang ia tebar, dibalik tawanya yang menular, dan dibalik guyonannya yang receh, ada luka yang menganga lebar, yang ia sendiri tak tahu kapan luka itu akan sembuh dan mengering jika setiap ia membayangkan wajah sang papa, ingatan itu akan menjadi belati yang kembali mengorek-ngorek lukanya.

Kebersamaan demi kebersamaan, kenangan demi kenangan antara ia dengan papa terus berputar-putar tak ubahnya gerombolan kupu-kupu hitam yang terus mengganggunya. Padahal ia sekarang sudah mempunyai ayah yang tak kalah baiknya seperti papa, namun entah kenapa papa selalu saja menguasai tempat di hatinya seolah tak membiarkan siapapun untuk menggantikan posisinya.

Akhirnya, buah dari lamunan panjang itu adalah air mata. Sesak, Aisha menekuk lutut dan memeluk selimut lebih erat berharap ia bisa menenggelamkan tangisnya disana.

'Salah aku apa Pah? Padahal janji papa buat ajak aku ke pantai belum ditepati. Tapi papa...' Aisha semakin terseguk. 'Tapi papa ninggalin aku duluan buat liat pantai yang lebih indah daripada di dunia ini.'

Mungkin terdengar sederhana, namun setelah papa tiada, Aisha sadar ia kehilangan sosok yang selalu mengkhawatirkan pola makannya, merindukan pelukan erat dan hangatnya, dan satu lagi, ia sangat-sangat kehilangan oleh sosok laki-laki yang selalu ada untuk mengobati segala bentuk luka dan sakitnya selama ini, hanya dengan humornya yang mungkin menurut orang lain itu garing, tapi baginya, sesederhana itu bisa mengenyahkan mendung untuk mengizinkan pelangi datang. Menurutnya, papa adalah definisi laki-laki sempurna yang menjadi cinta pertama baginya, bahkan ia kesulitan jika harus mendefinisikan seberapa dalam cinta itu. Entah, apakah putri-putri diluaran sana juga mencintai ayahnya sama seperti Aisha mencintai papa?

Semakin malam, ketika langit semakin pekat dan tak ada suara apapun yang terdengar selain irama jangkrik yang seolah-olah merayakan patah hatinya malam ini, alih-alih pergi untuk menyelami dunia mimpi yang mungkin itu lebih indah daripada dunia nyata, Aisha lebih memilih beranjak dari tempat tidurnya. Dan disinilah ia sekarang, tepat di depan meja pago yang menjadi saksi bisu kegalauannya.

"Kita Dalam Tarian Pena"

Sampul buku dengan judul yang diukir apik oleh tinta merah menyambutnya. Mungkin buku itu pula yang akan menemaninya malam ini.

Dear diary♡...

Hujan bulan Oktober ini mengajakku untuk berkenalan dengan cinta, lalu memperangkapku didalamnya.
-17 Oktober 2022

Aisha tersenyum sumir. Setiap lembar kertas yang ia buka, setiap kata-kata yang ia baca, otaknya akan bekerja seperti kamera film yang akan menayangkan makna disetiap quotes yang ia tulis pada saat itu layaknya video pendek. Masih teringat bagaimana awal pertemuannya dengan Irsyad ditengah gemericik hujan, keadaan saat itu memaksanya untuk berteduh di kantin, dan secara kebetulan lelaki itu datang bersama Gus Zian, yang hanya dengan melihat senyuman manisnya saja Aisha jatuh terperangkap dalam jeratannya.

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang