PART 27: PERHATIAN SANG GUS

43 6 0
                                    

Dapur ini tak lagi ramai, juga tak sehangat sebelumnya, menginjak jam 11 malam orang-orang mulai pergi keperaduan untuk melepas penat. Aroma lilin dan plastik yang terbakar menyeruak setiap kali Aisha menarik ujung plastik ke ujung lainnya diatas sumbu lilin yang menyala, jauh dari dugaannya, pekerjaan yang terkesan simpel ini ternyata cukup banyak memakan waktu. Pesanan ketring sedang membeludak, jadi mungkin malam ini ia akan lembur di rumah sang guru untuk menyulap kerupuk udang dalam toples besar menjadi bungkusan satuan. Melihat ke sisi lain dapur, ia menemukan tumpukan karton yang belum dilipat, jika saja Ustadzah Aminah tidak sakit, mungkin beliau akan menemaninya lembur malam ini dan pastinya pekerjaan akan lebih cepat selesai. Namun akhirnya keadaan memaksa beliau untuk istirahat lebih cepat dari hari biasanya.

Aisha menghela nafas, matanya perih setelah satu setengah jam duduk dihadapan lilin yang menyala, cahaya hangat yang dipancarkan sedikit menusuk pupil matanya, belum lagi urusan kantuk yang sudah tak bisa dikontrol sekarang. Derit pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan dapur terdengar, kemudian Gus Idris muncul disana dengan tatapan heran.

"Belum pulang?" Suaranya yang berat dan pelan membuat Aisha nyaman.

"Belum beres."

Tanpa menjawab, Gus Idris merotasikan bola matanya melihat keadaan dapur yang menyuguhkan banyak pekerjaan belum selesai, dengan inisiatifnya akhirnya lelaki itu memutuskan mengambil tumpukan karton lalu dibawanya ke ambang pintu tempat terakhir kali dirinya berdiri, lantas ia duduk disana berjauhan dengan Aisha untuk melipat kertas-kertas itu menjadi kotak nasi. Aisha yang memang tak punya banyak energi untuk bereaksi hanya menghela nafas, tak bisa mencegah juga mengomentari, sebab dirinya benar-benar butuh orang yang membantunya saat ini.

"Bungkusin kerupuk kaya gitu masih bisa diterusin besok 'kan?" tanya beliau setelah lama keduanya berada dalam keheningan.

Aisha tak menjawab. Tapi sepenuhnya mendengarkan.

"Kalo ngantuk ke kobong aja. Biar besok saya sama Yuhan yang menyelesaikan."

Aisha sebenarnya ingin, tapi jika ia memutuskan ke kobong sekarang, besoknya pekerjaannya pasti akan menumpuk, lagipula ia tidak tega membiarkan putra-putri gurunya mengerjakan hal kecil yang harusnya bisa ia selesaikan sekarang.

"Sebentar lagi selesai, tanggung," jawabnya agak kikuk dicampuri bumbu kebohongan.

Gus Idris hanya meliriknya sekilas dengan seutas senyuman tipis, paham bahwa kalimat itu hanya bualan halus, lalu kemudian ia kembali fokus pada kegiatannya alih-alih mendebat perkataan gadis itu. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat ketika ia dengan jelas melihat mata sayu yang menjelaskan bahwa Aisha benar-benar lelah.

* * *

"Yang katanya belum ngantuk. Saya hitung kamu nguap udah ke seratus kali loh," celetuk Gus Idris.

Aisha tergemap, malu-malu ia menoleh hanya untuk mendapati lelaki itu tengah duduk sila dan melipat karton-karton dengan khusunya. Entah karena pengaruh mata yang tinggal 5 watt atau pengelihatan malam yang buruk, tapi Aisha benar-benar melihat Gus Idris sekarang bak pangeran dari kerajaan-kerajaan fiksi, hidungnya yang bangir, garis lekuk rahangnya yang lancip, bibir tipis semerah jambu, juga kulit yang putih tampak kontras dibalik kaos hitam pendek yang dikenakannya. Sementara, anak-anak rambutnya dibiarkan keluar sebagian, oh bahkan kopiah hitam itu lebih indah daripada mahkota raja. Aisha pusing, dan lebih pusing lagi setelah menyadari betapa menakjubkannya pesona Gus Idris.

"Iya! Ganteng, saya tau. Tapi mata kamu tolong dikondisikan."

Degh!

Aisha gegas memalingkan muka, gelagapan bahkan sampai tak sadar jika lilin dihadapannya sudah lama padam karena meleleh hingga habis diatas pisin. Ini memalukan, tidak ada lagi rasa kantuk, semua telah dikuasai oleh rasa malu yang tak tertolong. Tengah malam banyak setannya memang sampai membuatnya hanyut dengan pesona lelaki di depannya. Diam-diam, Gus Idris tersenyum, lucu saja ketika menemukan pipi gadis itu yang memerah bak tomat segar yang baru dipetik dari tangkainya.

Secara bersamaan, pekerjaan Aisha benar-benar selesai. Kejadiam barusan yang membuat  suasana ini canggung jelas membuat Aisha kebingungan. Diam akan semakin membuatnya tak nyaman, sementara pergi begitu saja bukan ide yang bagus, jadi apa? Apakah sekarang dirinya harus membuka obrolan dengan lelaki yang berhasil membuat jantungnya dugem?

"Udah selesai?" Seakan tak pernah terjadi apa-apa, nada datar itu  kembali terdengar.

"Sudah."

"Yaudah, sana pulang!"

Refleks Aisha menautkan kedua alisnya. Bahkan tak segan melemparkan tatapan jengkel ke arah lelaki itu. Baru satu minggu dirinya piket disini dan menghabiskan waktunya dengan melihat Gus Idris berlalu lalang membuat hubungan keduanya sedikit dekat, karena tak seperti yang ia kira ternyata Gus Idris ini lebih sering membuka obrolan ketika di dalam rumah, bahkan tak segan mereka juga akan berdebat hanya karena masalah sepele atau celetukan Gus Idris yang sering membuat Aisha tak mampu mengerem kekesalannya. Dari perkataan lelaki itu barusan memang tidak ada salahnya, sejak tadi dirinya memang menginginkan itu, tapi entah kenapa ia menyimpulkan kata-kata itu sebagai usiran untuknya.

"Yasudah, saya pamit ke kobong. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Lihatlah, bahkan lelaki itu membalas salamnya dengan malas-malasan dan nyaris tak terdengar.

'Asatagfirullahhaladzim, Sha? Sabar....'

* * *

Begitu menutup pintu dapur hingga menimbulkan suara yang khas, Aisha menghirup sejuknya udara menjelang tengah malam sebanyak mungkin, disusul suara dari sendinya yang berbunyi ketika ia merentangkan otot-ototnya yang terasa tegang. Sejujurnya, melihat sekitaran membuat bulukuduknya berdiri, sepi, gelap, dan sunyi nyaris seperti tak ada kehidupan, jika begini lebih baik dirinya tidur dalam keadaan duduk saja sambil memegangi kerupuk udang. Aisha lagi-lagi berpikir, serius? Dirinya harus ke kobong sendirian?

Tak ada pilihan lain, lagipula ia masih punya stok rasa malu untuk kembali masuk ke dapur, jadi mau tak mau dirinya turun dari teras lantas memakai sandalnya. Melangkah dengan hati-hati diiringi bacaan ayat kursi setiap kali sandalnya bergesekan dengan tanah. Sesekali ia menoleh hanya untuk mendapati koridor madrasah tampak gelap gulita karena malam biasanya lampu dimatikan, juga pohon sawo yang mengingatkannya dengan beberapa kejadian diluar nalar, atau kantor asrama laki-laki yang konon sering ditemukan penampakan sesosok perempuan. Sial, kenapa disaat-saat seperti ini, ingatan-ingatan itu terus meracuninya? Ia ingin melupakannya dengan menghadirkan bayangan-bayangan yang lucu saja, tapi ingatan menakutkan itu selalu jadi pemenangnya. Ia sudah berjalan cukup jauh saat itu, sampai pada puncaknya tiba-tiba cahaya misterius dari lampu senter menyorot tepat ke arah kakinya berpijak.

Aisha nyaris saja memekik ketika dirinya tidak cepat-cepat membekap mulutnya, jantungnya berdegup kencang sampai ia bisa mendengar sendiri suaranya, atau lebih parahnya sendi-sendi kakinya nyaris saja berubah menjadi jelly saat ini. Cahaya itu ikut diam ketika pergerakannya terhenti, dengan wajah pucat dirinya perlahan menoleh ke belakang hanya untuk mendapati lelaki berkaos hitam sedang berdiri tegak memegangi senter yang diarahkan kepadanya jauh di belakangnya.

Ergh! Rasanya Aisha ingin menangis saja sekarang. Alih-alih merasa kesal atau emosi, dirinya tiba-tiba terharu tatkala melihat kehadiran Gus Idris di belakangnya. Dengan melihat tatapan matanya gelenyar hangat mengaliri dadanya secara tiba-tiba dan menghantarkan perasaan lega yang tak ada tandingannya, seolah-olah dirinya barusaja diselamatkan diantara gerombolan serigala oleh pangeran tampan. Sejujurnya ini agak diluar angkasa teman-teman, tapi entah kenapa tiba-tiba saja Aisha berkeinginan memeluk dada bidang itu sekarang. HUAAA!!!

Setelah lama terdiam, samar-samar Aisha menemukan lelaki itu mengangguk, seolah mengatakan dengan lembutnya 'jangan khawatir, saya akan antar kamu kobong', lalu setelah itu senyuman manis terbit begitu saja di wajah lelakinya. Aisha membalas senyuman itu seraya menyeka air matanya, lalu balas mengangguk sebelum akhirnya dengan tuntunan cahaya senter, kakinya melangkah dengan pasti menuju asrama 2.

Berulang kali, Gus Idris melihat wanita didepannya menoleh ke belakang, mungkin hanya untuk memastikan bahwa dirinya tetap disana, mengikutinya dengan langkah pelan agar jarak diantara mereka tidak menimbulkan hasutan iblis ditengah malam.

Diam-diam, dibalik tatapan yang seakan takut kehilangan itu, hati kecil Aisha berbisik. 'Aku sedang menatap objek nyata, namun untuk memilikinya adalah sebuah fatamorgana.'

* * *
TBC
To Be Continued

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang