⚠️Part yang lumayan panjang
Aisha baru saja keluar dari bilik kamar mandi saat hujan tiba-tiba saja turun dengan derasnya tanpa aba-aba. Bahkan sebelum ia masuk ke bak 2 langit masih terlihat cerah dan nampak baik-baik saja. Namun kini awan yang semula tersenyum itu berubah kelabu. Lewat derasnya air yang kini sedang mengguyur bumi, seolah itulah cara semesta memberi gambaran bahwa akan ada tangisan sederas ini di kemudian hari. Entahlah, pikiran semacam itu tiba-tiba saja melintas dalam kepala seorang gadis yang masih kedinginan setelah mandinya. Pantas saja Aisha tiba-tiba ingin memakai sweater rajut tebal sore ini ternyata cuacanya berada diluar prediksi BMKG.
Setelah mengemasi baju kotor, dan peralatan mandinya ke dalam ember. Aisha lantas keluar dari area kamar mandi santriyah dan menaiki tangga belakang menuju balkon dimana tempat cucian berada. Karena teknisnya letak balkon belakang menyuguhkan pemandangan terbuka, hal itu juga yang membuat Aisha bisa langsung melihat suasana balkon belakang asrama santri putra darisini, posisi kedua bangunan itu bisa dibilang tidak jauh juga tidak dekat, hanya terhalang lima rumah milik keluarga ndalem sekumpul. Meski demikian, pemandangan ke arah sana masih bisa terlihat jelas. Contohnya saja Aisha yang tak sengaja menemukan seseorang di balkon sana tengah duduk di bangku bambu seorang diri, bertafakur alam ditengah sendunya suasana hujan.
Bibirnya tiba-tiba saja melengkung dengan indah begitu ia mengenali bahwa seseorang di sebrang balkon sana ternyata Gus Idris. Kebetulan namun terkesan direncanakan, tunggu... Aisha tak ingin kegeeran dulu, tapi sudah menjadi langganan ketika selesai mandi, dirinya akan mengambil jalan lewat balkon belakang dan akhir-akhir ini secara bersamaan Gus Idris selalu ada disana, dijam-jam rutin tiap kali dirinya selesai mandi. Bahkan saat jam mandinya berubah sekalipun. Contohnya sekarang. Ck. Cowok gila mana yang effort-nya rela nongkrong, nungguin di balkon dan ngapalin jadwal mandi cewenya, cuma buat liat do'i lewat gitu aja? Dahlah. Author udh gk bisa berword-word lagi sama kebucinan Gus Idris.
Setelah meletakan baju kotor, Aisha keluar dari ruangan itu kemudian berdiri di balkon seraya menatap jauh ke arah dimana Gus Idris duduk anteng disana. Meski jarak membentang diantara keduanya, hal itu tak bisa menghentikan gejolak cinta yang sedang menggulung mereka. Lama terkunci dalam tatapan yang samar, keduanya lantas saling melemparkan senyuman manis sebagai pengganti kata pamit ketika Aisha tak bisa berlama-lama disini sebab hakikatnya ia tetap seorang santri yang harus patuh dengan aturan pondok, tak peduli pada siapa jatuh hatinya, ta'ziran akan tetap mengekorinya kemanapun ia pergi. Maka untuk menghindari hal yang tak diinginkan, gadis berkerudung blus maroon itu pun gegas masuk ke dalam kobong.
* * *
Tahun kemarin, saat ia pulang dari libur pondok Rabi'ul awal, di penghujung hari ditemani suasana gemericik sisa hujan hari itu, Bunda tiba-tiba saja datang dari arah dapur menghampirinya yang tengah duduk di ruang tamu seorang diri setelah mandi. Tangan wanita setengah baya itu tampak sedikit resah karena membawa dua mangkuk makanan berkuah panas yang masih mengepulkan asap. Aisha gegas saja bangkit dan menerima mangkuk-mangkuk itu untuk kemudian ia letakan di atas meja. Bunda tersenyum manis, sedikit menggosok-gosokkan tangannya yang mungkin kepanasan.
"Tunggu sebentar, bunda ambil sesuatu dulu di dapur."
Aisha masih cengo saat Bunda berlalu begitu saja dari hadapannya. Namun tak sampai 1 menit wanita itu kembali datang memecahkan lamunannya tentang dua mangkuk sop telur di atas meja. Bunda mengambil duduk di sampingnya seraya meletakan sendok di masing-masing mangkuk, juga meletakan kerupuk yang tampak merekah dan gurih ketika dimakan.
"Bunda sengaja buat sop telur, soalnya ini makanan yang cocok buat kamu di udara dingin kaya gini karena kamu suka hipotermia."
"Gimana, enak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...