"Mbak Aisha, di kantin gak ada kencur bubuk. Terus gimana?" Mia datang tergopoh mendatanginya yang sedang fokus menghaluskan bumbu dengan blender.
Belum lagi urusan garam, dan gula bulanan yang tak terpenuhi di dapur, ia harus dihadapkan kembali dengan laporan Mia barusan. Aisha abaikan perkataan gadis itu dan lebih memilih fokus pada pekerjaannya, entahlah rasanya hari ini masak tak semenyenangkan biasanya.
"Ada enggak gula sama garamnya? Kata Mbak Rika bukannya bulanan kemarin masih ada sisa. Coba cari di lemari!" Dan Elsa datang setelah menanyakan ketersediaan bahan bulanan pada seksi konsumsi.
"Mbak Aisha, ini minyaknya kurang. Tempe yang belum digoreng masih banyak." Gendhis membuat laporan dari tempatnya duduk di depan kompor.
"Kak, kencur bubuknya mau beli keluar kah?" Mia yang masih menunggu jawaban.
"Mbak Aisha masak apa sih? Kok bahannya pada kurang?"
Prang!
Tutup panci melayang dan berakhir menghantam tembok dapur. Suara nyaring yang ditimbulkan membuat semua orang terdiam dan cukup mengundang penasaran santriyah yang sedang ngerumpi di balkon dapur untuk berbondong-bondong mengintip keadaan dimana suara itu berasal. Aisha berdiri dari jongkoknya, ia berkacak pinggang seraya mengusap wajahnya kasar. Wajahnya tampak kusut dan kacau, ditambah deru nafasnya yang terdengar memburu.
"Aisha ada ap--"
"Bisa gak sih kalian berhenti nanya ini dan itu? Selagi kalian bisa mengatasi hal sepele ini, urus dan selesaikan sendiri. Belajar bertanggung jawab dari hal-hal kecil. Kalo barangnya gak ada di kantin, beli keluar! Kalo bahannya memang masih sisaan, cari di lemari. Kalo minyak habis, beli! Untuk kali ini, boleh gak sih aku nuntut kalian buat kompak! Jangan terus menerus ngandelin aku!"
Entah mempunyai keberanian darimana dan dapat bisikan dari siapa Aisha tiba-tiba saja meluap-luap seperti ini. Hingga Via bungkam, dan Gissya, Sofa yang baru saja datang pun membeku. Anak-anak berkerumun diluar dapur hanya untuk menonton kejadian ini. Ada apa dengan gadis itu?
"Aisha maaf. Kakak gak bermaksud ngebebanin semua pekerjaan ini ke kamu, tapi...." Elsa tak mampu meneruskan, karena lidahnya tiba-tiba kelu begitu saja ketika melihat Aisha menangis dihadapannya.
"Aishaaa...," lirih Via.
"Enggak, ini bukan salah kalian. Gak ada yang salah. Aku yang salah, maaf karena udah marah-marah." Aisha berusaha mengatur nafasnya, ia berulang kali menyeka air matanya lalu kemudian kembali berkutat dengan alat masak setelah Via dan Gissya membubarkan anak-anak yang berkerumun.
"Sini biar aku aja," ucap Gendhis tidak enak, tangannya ingin mengambil alih spatula, namun gadis itu menolak.
"Beli bahan yang habis keluar, ajak teman siapapun itu. Ini uangnya," tutur Elsa pada Mia yang sepertinya merasa bersalah atas kejadian ini.
Pada minyak panas yang bergelubuk setelah beberapa saat tempe dimasukan ke dalamnya. Aisha bertanya-tanya, kenapa dirinya bisa lepas kendali padahal biasanya ia akan tetap diam meski lelah sekalipun ia masih bisa tertawa, ia tak menyangka bahwa pertemuannya dengan Irsyad tadi pagi berdampak besar untuk moodnya hari ini. Ibaratnya, memaksa menghentikan rasa, dan dikuliti hidup-hidup adalah sebuah rasa sakit yang sama, sama perihnya hingga ia tak mampu melakukan apa-apa selain berteriak. Dan kenapa pula ketika dirinya mulai bertekad melupakan, lelaki itu malah sering memunculkan batang hidungnya dengan alasan sebuah kebetulan yang jelas membawa kebetulan-kebetulan lainnya.
"Kak Aisha."
Seorang gadis memanggil dengan hati-hati dan wajah was-was. Takut-takut Aisha kembali tersentil emosinya. Namun tidak seperti yang dibayangkan, Aisha menoleh dengan tatapan sayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...