PART 19: REMUK

47 7 0
                                    

Disebuah sore temaram dimana hujan sudah lama mereda dan hanya menyisakan aroma petrikor yang ada, Aisha memainkan lap pel dalam kendalinya dengan gerak pasti hingga teras depan yang semula terlihat kotor kini cling dari sisa-sisa tanah yang menyiprat dan membentuk noda. Sebenarnya pekerjaannya hampir selesai jika saja Ustadzah Mariam tidak dengan tiba-tiba keluar dari dalam rumah dan melempar senyuman teduh padanya.

"Mbak Aisha, abis ini suapin Awaa yah? Dia gak mau makan kalo gak di suapin sama Mbak Cya katanya." Dengan diakhiri kekehan pelan setelahnya. Ia mengangguk, nyaris tak kuasa mengangkat pandangan dihadapan sang guru.

Begitu sesi mengepel selesai, ia gegas mencuci benda yang baru saja digunakannya. Untuk kemudian setelah itu, ia berjalan pasti menuju dapur dengan pintu yang terbuka lebar, Gissya ada disana, bersama Awaa juga Ustadzah Mariam. Ia bersimpuh diantara mereka, hingga tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Awaa berhambur ke dalam pelukannya.

"Adek sama siapa iiiih, main peluk-peluk aja. Emangnya ade udah kenal?" Guyonan yang biasa dilontarkan seorang ibu ketika anaknya nurut sama orang lain.

Awaa hanya mencebik, seolah tak ambil pusing dengan perkataan sang ibu, anak kecil itu kembali bergelayut manja dalam pelukan Aisha.

"Makan dulu dek, disuapin tuh sama mbak Cya. Ayo makan!"

"Cama ayam goyeng."

"Iya, ni ayam goyengnya nih, makan yang banyak yah."

Aisha hanya tersenyum simpul menerima piring berisi nasi yang disodorkan Ustadzah Mariam. Namun sebelum comotan nasi itu masuk ke dalam mulut mungil Awaa, gadis kecil itu tiba-tiba saja mengajaknya keluar, ia ingin makan di luar meski keadaan pekarangan sedikit becek.

"Yaudah gak papa, Mbak Aisha. Awaa kalo makan suka banyak acara, turutin aja yang penting dia makan lahap," tutur sang guru. Yang memang Awaa ini agak susah dalam hal makannya.

Manut. Aisha kini duduk diteras, dibawah adiwarna dengan jingga yang memikat menggantikan mendung yang sebelumnya begitu pekat. Seraya menunggu Awaa datang padanya untuk suapan berikutnya, ia berkelana dalam pikirannya ditemani udara dingin yang masih kentara terasa. Dengan matanya sendiri, ia menyaksikan bagaimana cara Gissya berinteraksi dengan sang guru, harusnya dengan ini saja ia  sadar bahwa Gissya terlalu sempurna untuk ia saingi. Gadis itu terlalu dewasa hingga tak heran banyak masayikh yang terpikat dengan sikapnya.

Hal ini tentu sangat berbanding terbalik dengannya, ia rasa semua yang ada pada dirinya selalu tak cukup memuaskan dan tak pantas diistimewakan. Apa yang ia punya? Tidak ada. Ia hanyalah gadis yang menurutnya tak cukup pintar, dengan kecantikan rata-rata dan sifat kekanak-kanakan. Sedangkan Gissya? Tak hanya mempunyai paras cantik, namun gadis itu juga mendapat julukan si pintar di angkatannya, dewasa, juga sering mendapat perhatian guru. Harusnya ia tidak aneh lagi perihal ini, bukankah sejak menduduki sekolah dasar pun ia selalu diperlakukan sama oleh lingkungannya. Tak jauh berbeda seperti apa yang dialaminya saat ini.

Bahkan jika saja voting digelar, perihal dengan siapa Irsyad pantas bersanding diantara dirinya dan Gissya, mungkin seratus persen santriyah akan berada di pihak Gissya. Karena kata anak zaman sekarang, yang ganteng harus sama yang cantik, yang sempurna harus sama yang sempurna. Dan ia tak mempunyai apapun untuk dicocokan dengan lelaki itu karena bagaimana pun caranya, keduanya tidak akan pantas, yang harus ia lakukan sekarang adalah berhenti karena saingannya terlalu tinggi untuk ia setara'i. Dan pada akhirnya Aisha kembali terjebak dalam lamunannya yang toxic.

Belum selesai sampai disitu, definisi toxic kini benar-benar berwujud di hadapannya, dimana hanya dengan melihatnya saja sudah menghantarkan racun yang membuat Aisha sesak bukan main. Irsyad datang ke rumah yang sedang ia pijak saat ini hanya untuk mengambil makan. Jika santri wanita jatah makannya di jam pertama-- atau siang hari setelah semua pekerjaan beres, maka santri lelaki ditempatkan di jam kedua-- yaitu sore hari. Salah satu rutinitas yang diwajibkan oleh sang guru.

Lelaki itu melintas begitu saja dihadapannya tak ubah angin yang berlalu. Aisha menyimpulkan bahwa selama ini Irsyad tak pernah menganggap keberadaannya, lantas apa arti dari tatapannya, perhatiannya, dan perilakunya yang seolah-olah menerima Aisha selama ini? Ternyata benar, yang baik saja belum tentu cinta. Bisa saja mereka emang terlahir baik kan? Dirinya saja yang terlalu kegeeran, tapi entah kenapa mendapati kenyataan itu semakin membuat dadanya remuk.

Sendu sore itu tiba-tiba saja pecah bersamaan dengan datangnya Gus Zian dalam keadaan terburu-buru, sepeda yang dikendarainya diletakan begitu saja tanpa di standar, baju belakangnya penuh dengan lumpur dan sekujur tubuhnya basah kuyup, rambutnya pun acak-acakan. Terlihat lusuh setelah Aisha melihat lebih dekat ketika anak itu memutuskan duduk di sampingnya disertai cengiran lebar.

"Heh, tau enggak? Si Irsyad sama siapa tuh yang lagi di dapur? Gissya! Iya, dia. Mereka udah jadian loh."

"Cieee ada yang patah hati nih."

* * *
TBC
To Be Continued

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang