Malam ini, selepas sholat isya berjama'ah selesai ditunaikan, santriyah tidak langsung membuka mukena dan menggulung sajadah seperti pada malam-malam biasanya. Keramaian di madrasah 2 jelas membuat Aisha menggerutu sebal, sebab agendanya untuk melancarkan hafalan harus tertunda untuk mencari tempat paling tenang, karena malam ini juga adalah setoran terakhir dalam jadwal ujiannya setelah satu pekan penuh kelasannya dibelit hafalan dan runyamnya soal-soal ujian. Melihat Via yang malah ikut menimbrung obrolan-obrolan tak berfaedah teman-temannya membuat Aisha sedikit jengkel, setidaknya kalo sudah hafal jangan ikut gabung lah, buang-buang waktu.
"Via!"
Sang empu yang dipanggil menoleh.
"Dipanggilin juga daritadi! Khusu ya ngeghibahnya," sindirnya pedas.
"Apa si Sha? Mau apa?"
Pertanyaan Via jelas semakin membuat Aisha jengkel.
"Ayo berangkat! Ngapalin bukan malah ngobrol gajelas!" ketusnya.
"Ya allah, Sha. Masih jam setengah delapan. Di madrasah belum ada siapa-siapa."
"Biar ada waktu buat ngapalin, aku yakin kamu gak lupa kalo malam ini mau tesan," sindirnya lagi.
"Asstagfirullah!" Refleks Via menepok jidatnya.
"Tuhkan pikun!" Aisha mendengus lantas pergi darisana dengan beberapa kitab dalam pelukan tangan sebelah kanannya. "Aku duluan."
"Sha tungguin!" Via memekik seraya bergegas membuka mukenanya dan melipat asal. Berlari kesana-kemari mencari kerudungnya yang lupa ia taruh dimana terakhir kali. Hingga membuat orang-orang disana keheranan melihatnya.
* * *
Perjalanan dari asrama 2 menuju madrasah utama hanya membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit jika berjalan kaki, letak tempat ngaji berdekatan dengan asrama santri laki-laki, tepat di depan rumah Kyai juga bersebelahan dengan rumah Ustadzah Aminah, atau rumah Ning Yuhan agar lebih mudah dikenali. Dibawah langit malam dan cahaya bulan, yang terdengar kala itu hanya gesekan dari sandal dan batu-batu kerikil yang berserak di sepanjang jalan, candunya suara itu menenggelamkan lamunan Aisha maupun Via yang tak pernah tersuara. Tepat ketika mereka melewati pekarangan rumah Bi Erin-- penduduk setempat yang terkenal karena pohon kelengkeng di depan rumahnya yang tinggi menjulang. Konon katanya pohon itu banyak dihuni makhluk tak kasat mata yang hanya akan menampakan diri di malam-malam yang sepi seperti ini.
"Kenapa gak ngajak berangkat awal ke yang lain juga?" celetuk Via sambil berusaha mengimbangi langkah kaki sahabatnya. Terselip nada takut di antara lirih pertanyaannya.
"Mereka paling mau jajan es dulu, lagian kalo nunggu berangkat bareng nanti gak keburu ngafalin."
"Pelan-pelan dong jalannya!" Via menarik lengan baju Aisha yang membuat gadis itu berdecak tak habis pikir.
"Kalo takut kenapa ikut berangkat sama aku?"
"Kaya gak tau aku aja. Sahabatmu ini kan kelewat baik Sha, temen berangkat ngaji sendiri ya dikejar, harusnya sih berterima kasih yah, tapi yaudahlah..."
"Dih, aku gak maksa yah." Aisha mendelik.
"Gak maksa sih, tapi dalem ati bersyukur banget keknya ditemenin kek gini. Kamu gabakal berani sendirian."
"Kata siapa? Sotoy lu!"
"Lagian, apasih yang ditakutin," ujar Aisha lagi.
Via yang terlanjur sebal pun menjawab sekenanya, "Tuh penunggu pohon lengkeng lagi liatin kita--"
Brugh!
"KYYAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!"
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...