PART 01: SUNTHREE

248 13 1
                                    

Deburan ombak yang tak pernah lelah mencumbui terumbu karang di bibir pantai menghantarkan suara gemuruh peneduh jiwa yang mengiringi kajian malam sabtu bersama Kh. Muslim di Musholla An-nur.

Suasananya sedikit berbeda malam ini, dingin. Posisi Aisha yang berada di tengah puluhan santriyah tak menjamin kehangatan, sebab bisa ia rasakan bulu kuduknya berdiri saat angin pantai membelai tubuhnya. Ia mengedarkan pandangan pada beberapa teman-temannya yang diserang kantuk berat, bahkan ada yang tertidur dalam keadaan duduk. Atensinya kembali beralih menatap rembulan yang bersinar begitu cantiknya di langit pekat, syahdunya di tambah petuah dari Kh. Muslim.

"Kesuksesan itu tidak bisa didapatkan secara gratis. Harus ada perjuangan dan pengorbanan. Tidak bisa didapatkan dengan instan. Jika ingin pintar, ya ngaji! Lihatlah remaja zaman sekarang, masih adakah di daerah kalian anak muda yang keluar malam-malam untuk mendatangi pengajian? Gak ada! Karena sekarang tuh zamannya hape, benturannya sama hape. Wanci maghrib bukannya ibadah malah janjian sama lelaki yang bukan muhrim di pinggir jalan. Ke kafe lah, ke warnet lah. Maka bersyukurlah kalian mempunyai orang tua yang sholeh, yang memilih untuk menitipkan kalian semua di pondok pesantren! Bukan mereka tak sayang, bukan mereka mengasingkan. Tapi mereka menyelamatkan kalian semua agar tidak terjerumus pergaulan bebas!" Suara beliau yang serak begitu lembut menelusup ke dalam telinga meskipun dengan intonasi tegas.

"Di umur kalian saat ini, fokuskan untuk tholabul ilmi. Bertahanlah untuk jauh dari orang tua, jauh dari hape, dan teman-teman di rumah, karena tholabul ilmi itu harus mengorbankan masa muda, istiqomah di kobong, jangan main keluar, jangan main hape. Bangunlah kedisiplinan dalam diri untuk hidup yang lebih bermanfaat."

* * *
22.30

Aroma mie rebus yang terbawa semilir angin membuat mata Aisha terpejam. "Mmm,,, emang paling enak ngemie pas dingin-dingin gini," ucapnya seraya menggosok-gosok telapak tangan mencari kehangatan.

"Apalagi kalo mie-nya diseduhin ya?" Sindir Via yang sedang menuangkan beberapa bumbu mie ke dalam baskom kecil.

Merasa tersindir dengan candaan Via, Aisha lantas membela diri. "Punten nya, aku udah ambil air satu ceret. Naik turun tangga buat cuci sendok sama wadahnya." Karena letak dapur berada di lantai dua.

"Jadi, siapa disini yang jadi tim hore?" tanya Via seraya melirik jahil ke arah Gissya, Sofa, dan Tata yang asyik mengobrol.

"Iyaiya deh, nanti kita yang ngamparin emperan bawah." Tata pasrah.

"Ngelemparin!" sahut Gissya.

"Ngamparin!" tukas Sofa.

Tawa Aisha dan ketiga sahabatnya pecah tatkala melihat raut wajah Tata yang selalu ternistakan. Ngelemparin, ngamparin, sisanya tinggal ngeberesin nanti subuh, hal yang sangat menyebalkan ketika dalam keadaan setengah sadar harus melipat karpet dan membawanya ke lantai dua.

"Dah biasa." Tata mencebik sebal.

"Ya... kan ini giliran, kemarin kan aku yang ngeberesin." Aisha menjelaskan untuk memudarkan raut masam di wajah Tata.

"Iyya gak papa kok aku mah, ikhlas ridho demi kenyamanan Sofa Family," katanya dramatis.

Diiringi tawa, Aisha mengakhiri topik dengan menggiring teman-temannya menuju madrasah bawah, seraya membawa baskom berisi mie yang masih mengepulkan asap.

* * *

Karpet sudah terhampar rapi dengan bantal yang sudah tertata sesuai tempat masing-masing. Amparan berukuran cukup besar itu mampu memberikan setidaknya kehangatan bagi kelima gadis kuncen madrasah bawah. Bukan tanpa alasan mengapa mereka memisahkan diri dari orang lain. Pasalanya, di lantai dua yang notabene adalah tempat tidur yang sesungguhnya sudah tidak ada celah tersisa, sehingga lantai dasar dijadikan pelarian.

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang