"Aisha? Tumben kamu gak nimbrung obrolan perihal liburan. Sariawan?"
Pada obrolan setelah musyawarah malam itu seperti biasa di madrasah bawah, suara Sofa yang sedang mengunyah bistik keju di tangannya memecah lamunan keruh Aisha di perkumpulan 5 sekawannya. Via yang duduk terhalang Gissya dari posisi Aisha pun menoleh, menatap gadis itu dengan senyuman jahil namun perlahan semburat penuh empati tiba-tiba menguasai ekspresi Via. Tak heran kenapa tiba-tiba Sofa bertanya demikian, karena biasanya setiap mendekati liburan pondok gadis berkerudung putih itu akan sangat antusias dan paling cerewet membicarakannya.
"Emang aku harus gimana," ucap Aisha mengangkat pandangannya setelah sedari tadi ia menunduk mengorek-ngorek bistik keju milik Tata yang dijadikan wedang Sofa Family malam ini.
"Ya kan biasanya kamu paling berisik." Gissya menyenggol gadis itu dengan kekehan.
Aisha tersenyum tipis. Lalu kembali memusatkan atensi pada benda gurih berbentuk panjang dan ramping itu. "Gak harus berisik juga kali," ucapnya.
"Tapi kamu mau pulang 'kan Sha libur kali ini?" tanya Tata.
Aisha mengangguk. "Pasti dong. Emang kapan aku pernah liburan disini. Waktu gak libur aja aku sering pulang apalagi sekarang ada celah." Ia tersenyum kecut.
"Bukan sering Sha. Jangan ngejatuhin harga diri kamu, kamu pulang karena sakit bukan sengaja langgar aturan. Tapi Alhamdulillah yah akhir-akhir ini kamu gak gampang sakitan," timpal Via.
"Semenjak kamu piket di rumah Ustazah Aminah sih aku perhatiin gitu," sambung Tata kegirangan.
"Gimana gak sehat. Orang kamu udah dianggap anak menantu disana. Emang siapa sih yang diperlakukan gitu di An-Nur selain kamu?" celetuk Sofa.
Semua yang duduk disana tampak senang dengan obrolan ini, namun berbeda reaksi dengan Via yang diam-diam menyadari bahwa topik ini juga yang merenggut senyuman di wajah Aisha perlahan-lahan, umpama uap beracun yang mengepul pekat, membius Aisha ke dalam perihnya dejavu dan luka yang tak terselesaikan. Maka dengan begitu ia gegas mengganti topik pembicaraan sebelum semuanya menghancurkan mood perkumpulan ini.
"Ekhem... Btw. Nanti kalian pulang naik angkutan umum atau dijemput?"
Sontak Sofa, Gissya, maupun Tata tertawa. Menertawakan jenis pertanyaan yang diajukan Via dengan tiba-tiba. Padahal gadis itu tau sendiri setiap liburan mereka tidak diperbolehkan ngeteng tapi kenapa harus bertanya lagi, mustahil jika Via tidak tau.
"Nanya apaan sih. Yakali ngeteng, yang ada dimarahin Kyai Muslim nanti."
"Tau tuh kenapa tiba-tiba nanya gitu."
"Butuh aqua?"
Hahahaha....
Aisha tersenyum tipis, menoleh ke arah Via dan saat itu pula mata keduanya bertemu. Seolah dari tatapan itu Aisha meledek Via karena kebodohannya, tapi disisi lain ia juga berterima kasih karena ia mengerti maksud dari pertanyaan itu.
Ia selalu butuh waktu untuk sembuh dari luka. Namun luka kali ini seperti kehilangan penawarnya, dan ia tak punya jalan keluar untuk membebaskan diri dari luka-luka itu. Seolah ingatan tentangnya menjelma menjadi penduduk yang mabni (tetap dan tak bisa diganggu gugat) yang merajai isi pikirannya meski dirinya seringkali dibuahi luka setelahnya.
Ia akan mencoba cara ini. Jika katanya masalah di pondok bisa diistirahatkan bahkan disembuhkan di rumah, maka ia akan mencobanya di liburan kali ini. Bahkan ia berani bertaruh jika dengan kepulangannya kali ini ia berhasil melupakan sosok Idris, ia tidak akan menginjakan kaki lagi di tempat ini atau lebih jelasnya ia akan mengambil tindakan besar yaitu memilih untuk berhenti. Semua itu akan terjadi tiga hari lagi jadi ia harap semuanya berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...