PART 42: DIAMMU MERUBAH SEGALANYA

43 5 0
                                    

Sampai di pekarangan rumah, Irsyad menurunkan ember-ember itu tepat di samping jemuran. Ia tak langsung pergi, paling tidak menunggu Aisha mengucapkan terima kasih mungkin itu tidak terlalu buruk, namun sepertinya kehadirannya disana berakhir sia-sia karena absennya Gus Idris ke balong hari ini ternyata berdampak besar pada perubahan sikap gadis itu. Aisha terlihat tidak minat untuk tersenyum ketika sedang menjemur baju-baju itu bahkan sekedar meliriknya, maka sebelum harga dirinya semakin terluka ia gegas pergi darisana setelah mengucapkan.

"Saya pamit. Maaf kalo saya lancang menggantikan posisi Gus Idris. Assalamualaikum."

Aisha yang barusaja akan meletakan hanger di besi jemuran seketika terdiam, menatap heran punggung Irsyad yang mulai berjarak darinya. "Waalaikumsalam. Kenapa harus minta maaf?" gumamnya dengan wajah datar. Ia kemudian menggeleng tak ambil pusing, terlepas dari anehnya sikap si penanggung baju itu ternyata sikap yang punya baju justru lebih membuatnya bingung.

"Aneh banget orang-orang hari ini. Kalo buat surprise kayanya gak mungkin karena ini bukan ultah aku." Aisha mendumal sendiri.

Setelah semua pakaian bertengger memenuhi jemuran, Aisha sedikit menghela napas lega. Satu pekerjaannya baru saja selesai, tinggal satu pekerjaan lagi yang harus ia kerjakan sebelum pulang ke kobong untuk mengaji yaitu membereskan dapur. Sembari menumpuk ember dan membereskan hanger, gadis berkerudung denim itu berujar seraya membuang napasnya lelah.

"Kemejanya juga cuma satu yang dicuci? Dia gak punya sarung kotor?" gumamnya.

* * *

Sementara di sebuah kamar, kehadiran koper besar berwarna hitam sukses membuat pemiliknya uring-uringan. Bahkan lelaki itu tidak pernah berhenti menatap nanar pakaian yang sudah tertata rapi di dalamnya. Jika saja helaian benang itu bisa mengemukakan pendapatnya mungkin mereka kesal ditatap menyedihkan seperti itu oleh pemiliknya selama berjam-jam.

"Bang?" Suara umi yang mengalun merdu berhasil memecah sendunya ruangan ini. Idris tampak menyeka sudut matanya sebelum ia berbalik memperlihatkan senyuman manis pada wanita setengah baya itu.

"Udah beres-beresnya?" Umi menghampiri seraya mengusap lembut lengan kanan putranya itu.

"Udah umi."

"Mau bawa bekal apa? Nanti umi masakin. Kata abi, berangkatnya nanti abis dzuhur gak papa?" tanya wanita itu seraya tersenyum teduh.

Idris tersenyum pasi, namun ia memilih menjatuhkan pandangannya pada ujung-ujung kaki alih-alih menatap wanita di hadapannya. "Iya umi. Enggak jadi masalah kapanpun berangkatnya."

"Syukurlah. Terus kamu mau bekal apa? Biar nanti Aisha sama umi yang buatkan."

"Enggak."

Umi seketika mengernyit mendengar penolakan cepat dari Idris.

"Enggak usah umi." Kini lelaki itu lebih melembutkan suaranya, takut jika akan berakhir salah paham dan menyakiti hati sang ibu. "Aku gak bisa langsung makan disana, umi. Umi juga tau kan kalo aku susah beradaptasi di tempat baru? Jadi kayanya gak usah repot masak-masak. Nanti beli makanan ringan aja di jalan."

"Tapi nak, kamu disana gak sehari dua hari. Bisa saja sekarang baru datang kesana memang gak nafsu makan, tapi siapa yang tau kalo malamnya kamu lapar."

Idris menggeleng lembut, berusaha menahan diri agar tidak menjadi perdebatan. "Enggak umi. Sekarang bawa bekal secukupnya aja. Selebihnya yang kurang kita beli di perjalanan. Abang gak mau umi..."

"Sa-sama Aisha repot-repot masak." Kini, nama yang sangat ia cintai itu dalam sekejap mata menjadi nama yang paling menyayat hati ketika mengingatnya.

Pada akhirnya, umi hanya menggeleng. Memaklumi bahwa yang akan berangkat ke pondok bukan Adim ataupun Adil, tapi ini sosok si sulung yang tak pernah banyak permintaan dan anti merepotkan orang disekitarnya yang padahal itu sama sekali tidak merepotkan siapapun. Menghargai keputusan Idris, umi pun mengangguk sangsi seraya tersenyum manis, namun tak lama kemudian senyum itu berubah sendu ketika dirinya menatap Idris yang kini tumbuh lebih tinggi darinya. Butuh waktu yang lama bagi umi untuk kembali bicara, karena sesak yang sedari tadi membumbung tinggi harus ia kendalikan setengah mati.

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang