Pada pelukan hangat Umi di kobong malam itu Aisha memberanikan diri mengeluarkan seluruh kesakitannya yang selama ini terpenjara, membeludak, sesak, dan tentunya perih bukan main. Ia terlanjur basah kuyup untuk berteduh, cacian, makian, fitnahan sudah ia terima sesaat sesudah lelaki itu pergi, ia memendam, menumpuk bahkan menjahit satu persatu luka itu namun apa? Untuk setiap kata yang keluar ia bahkan menaruh harapan besar dibaliknya, berharap dan berharap bahwa perjodohan itu tidak nyata kebenarannya. Namun sayang, semua jawaban Umi tak lekas menyembuhkan hatinya sebab kejujuran Umi malam itu lagi-lagi menikamnya dalam jurang perpisahan yang kelam. Ia tidak pernah berpikir bahwa kecemburuannya kepada Ning Yasmin tempo hari akan berakhir seserius ini.
Titik paling menyakitkannya adalah ia cemburu namun justru hanya sebatas itu. Lelaki itu mencintainya namun ia seperti kehilangan asa untuk mempercayainya. Tidak pernah ada janji namun saling mencintai, tidak pernah ada komitmen namun saling menjaga, tidak ada kata milikku namun saling mencemburui. Pantas disebut apa hubungan ini? Bahkan saat keadaan ini menerpanya ia tak tau harus berpegangan kemana, dan berlindung dibalik janji apa jika lelaki yang ia cintai saja tidak lagi ia percayai setelah pergi tanpa pamit yang terkesan menggantungkan segala isi hati.
Ia pikir akan pulih sebelum semuanya hancur tak tersisa, namun ternyata dirinya salah. Lelaki itu pulang bukan untuk memperbaiki luka dan kepercayaannya namun justru membawa wanita lain yang lebih pantas disisinya.
Terlepas dari itu semua, keinginannya untuk bertemu lelaki itu tak pernah redup bahkan ketika dirinya berusaha melupakan sekalipun, ia tak lagi ingin munafik tapi ia masih benar-benar mencintainya. Ini sulit. Antara cinta, kecewa dan benci yang susah payah ia hadirkan agar bisa melupakannya namun ternyata itu menjadi seni menyakiti dirinya sendiri.
Di dalam kamar bernuansa beige ini entah ke berapa kalinya Aisha kembali terisak. Menginjak tiga hari kepulangannya ke rumah ia belum berani membuka handphone sebab ada rasa takut tersendiri membayangkannya. Cincin? Pertunangan? Atau bahkan pelaminan? Ergh! Aisha tak bisa untuk sekedar membayangkannya. Perlahan namun pasti, pelukannya pada lutut mengendur, jemarinya akhirnya berani merambat bergerak membuka gelang kayu berwarna cokelat legam yang diberikan lelaki itu sebagai tanda cintanya.
Mungkinkah ini benar-benar usai?
Tok! Tok! Tok!
"Kak? Ayah boleh masuk?"
Aisha gegas menyeka air matanya. Bangkit dari duduknya lalu berjalan tergopoh membuka pintu. "Iya ayah?" Dengan sayu Aisha menjawab.
Ayah tak langsung menjawab sebab beliau terpaku pada pemandangan sembap wajah mungil putrinya. Namun Ayah enggan bertanya.
"Ayah mau ke pasar. Titip adik-adik ya?"
"Ayah mau beli apa? Bukannya stok belanjaan baru belanja kemarin?"
"Ayah mau beli bahan makanan. Sama isi toples."
Aisha tak bertanya lebih lanjut. Ia mengangguk lalu menyalami tangan lelaki dihadapannya. "Hati-hati, Ayah."
"Baik-baik ya?" Ayah tersenyum simpul.
Aisha mengangguk.
"O' iya kak. Ayah boleh minta tolong?"
"Minta tolong? Iya boleh."
"Tolong ganti taplak meja sama vacum-in sofa ya? Terus tolong pewanginya di isi ulang, ayah udah beli kemarin, ada di box penyimpanan lemari dapur."
"Iya ayah."
* * *
Atmosfir ruang tamu yang Idris tahu selalu terasa sejuk tiba-tiba kini terasa berbeda, dan jelas saja ia tak menyukainya. Ia meremas tangannya cemas terlebih ketika perempuan paruh baya membawa gadis untuk di dudukan di balik gorden transparan antara ruang tamu dan ruang tengah. Kehadiran Abi bukannya memberikan ketenangan, justru itu membuat Idris semakin kelabakan. Ia sudah menduga bahwa kejadian yang sempat menyambangi mimpinya ini akan terjadi, tapi ia tidak berekspektasi bahwa ini akan terjadi secepat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...