PART 38: SEBELUM IRSYAD, SAYA LEBIH DULU MENCINTAI KAMU

56 8 0
                                    

Hari masih terhitung pagi ketika tempat penggilasan dipinggir balong sudah dipenuhi oleh santriyah yang sedang menjalankan piket Masayikh. Hari ini hari minggu dimana ada pengurangan jam mengaji subuh, jadi bisa dipastikan setiap hari minggu pula balong ini akan ramai oleh santri, jadi untuk satu dua ibu-ibu yang kadang numpang nyuci baju disini lebih baik mangkir dulu. Termasuk Aisha yang kebagian antri nomor empat, dengan dua ember besar baju kotor milik Ustadzah Aminah beserta keluarga. Kurang lebih 60 menit dirinya menunggu akhirnya sampailah gilirannya. Memang harus sesabar itu, karena dimana-mana ada santri pasti sistemnya ngantri.

Mengambil tempat disisi kiri otomatis membuat Aisha harus berhadapan dengan Sheena didepannya, karena teknisnya posisi batu penggilasan berada ditengah-tengah mereka, jadi mau tak mau mereka harus berhadapan seperti ini. Setelah membasahi semua pakaian, Aisha lantas menaburkan detergen bubuk diatas kemeja yang ia beberkan dipermukaan batu penggilasan, lantas menggilasnya dengan gerak pasti. Kebetulan Sheena ini adalah khodamnya KH. Muslim. Tapi Aisha tak menyangka saja bahwa pagi ini mereka tiba-tiba berhadapan dalam kegiatan yang sama. Sedikit canggung sebab ia dan Sheena beda asrama jadi tidak terlalu kenal apalagi dekat.

Satu, dua, tiga, sampai baju-baju selanjutnya berhasil ia gilas. Satu hal setelah kurang lebih 20 menit berlalu, Aisha menyadari bahwa Sheena tertangkap berulang kali melirik diam-diam ke arah tangannya, lebih tepatnya ke arah pergelangan tangan dimana gelang kaoka yang disinyalir pemberian Gus Idris ini melingkar cantik. Tak perlu menerka lagi, kabar kedekatannya dengan Gus Idris sudah menyebar jadi tidak menutup kemungkinan bahwa gadis itu juga tau termasuk tentang gelang ini. Merasa diintimidasi meski tak kentara jelas membuat Aisha tak nyaman, apalagi sejak awal kehadirannya disana wajah Sheena tiba-tiba saja berubah masam. Seolah memperjelas bahwa gadis itu tak suka akan kehadirannya.

"Mbak Sheena. Boleh pinjam sikatnya ndak, saya lupa gak bawa."

Sheena mengangguk singkat. Lantas mendorong pelan sikat itu ke arah Aisha tanpa menatap si empu dihadapannya. Sementara itu, Aisha hanya tersenyum manis seraya menggelengkan kepalanya pelan. Dalam hatinya kegirangan setelah memfonis bahwa sikap Sheena yang cenderung judes padanya itu adalah sebuah bentuk kecemburuan bercampur kebencian tersembunyi karena dirinya kini sedang menjadi topik hangat dikalangan santriyah atas kedekatannya dengan Gus Idris. Aisha tau, pasti Sheena beranggapan bahwa dirinya adalah pelakor, padahal kenyataannya Gus Idris saja tidak pernah suka pada gadis itu. Tapi Sheena menempatkan diri seolah-olah sudah memilikinya, mangkannya sifatnya kini berubah drastis padanya.

"Makasih mbak, ikhlas kan?" Aisha tersenyum smirk seraya memberikan benda itu.

Alih-alih menjawab dan menerima yang disodorkan Aisha, Sheena malah melempar tatapan tajam tak kasat mata setelah tau apa arti dibalik kalimat yang dilontarkan Aisha. Merasa tertantang, Aisha membalas tatapan itu dengan tenang dan menanggapi kemarahan Sheena dengan elegan. Ia suka ketika mengetahui ada orang yang menganggapnya lawan hanya karena sebuah kepemilikan tanpa kepastian. Tapi kali ini kepemilikan itu jatuh sepenuhnya di tangannya. Jadi ia tak bisa diam saja ketika dirinya tiba-tiba saja dibenci hanya karena memiliki hal yang diidam-idamkan semua orang. Memang itu salahnya jika dirinya disukai oleh seorang Gus?!

* * *

Selesai dengan cucian, Aisha membereskan sabun maupun ember yang ia bawa tak lupa membersihkannya terlebih dahulu. Lalu beristirahat sejenak sembari melihat sekeliling, sukur-sukur kalo ada mang santri untuk ia mintai bantuan untuk mengangkat cucian.

"Ada yang bisa dibantu?"

Sedikit terperanjat sebab hadirnya suara serak itu begitu tiba-tiba. Pantas familiar ternyata dia adalah lelaki yang sama yang membawa cuciannya tempo hari. Ia akan menjawab "Iya" dan "tolong" jika saja lelaki berkaos putih tidak datang menghampiri keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Udah nyucinya? Ayo pulang."

Tanpa basa-basi apalagi cepaka-cepiki, lelaki berwajah datar itu meletakan ember berisi cucian penuh diatas bahu kokohnya dengan gerak pasti. Memanggulnya tanpa kesusahan sedikit pun, yang lebih parahnya ajakan Gus Idris barusan seolah-olah nada ajakan pulang dari suami possesif kepada istrinya. Yang benar saja, Aisha bahkan tak bisa melihat sekeliling yang ramai kini tertuju padanya.

Sebelum akhirnya ia mengangguk bingung. Meninggalkan keterdiaman Irsyad di belakangnya hanya untuk mengekori Gus Idris di depannya. Persis seperti pasangan suami istri. Juga perlu kalian tahu bahwa kejadian barusan tak luput dari kesaksian Sheena. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa yang patah hati pagi ini tak hanya Irsyad, tapi juga gadis itu.

"Kalo butuh bantuan, panggil saya bisa?" Gus Idris bersuara setelah keduanya berjalan searah di jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya dikelilingi hamparan sawah.

"Eu-- ta-tapi bagaimana caranya?" Bisa dibayangkan sebingung dan secanggung apa ekspresi Aisha sekarang? Sampai-sampai membuat ucapannya terbata.

"Panggil saya jika kamu selesai nyuci, biar saya yang angkat cucian ke rumah. Paham?" jawab lelaki itu tanpa menoleh, karena susah juga kan posisinya.

"Kayanya gak bisa, karena setiap saya selesai nyuci, baru berdiri aja--" Aisha tiba-tiba terdiam tak bisa melanjutkan.

Meski dalam langkahnya Gus Idris penasaran, dan ingin sekali berbalik badan menatap Aisha yang tiba-tiba diam, lelaki itu lebih memilih terus jalan ke depan karena saat ini mereka harus menaiki tangga tanah yang lumayan licin karena semalam diguyur hujan meski tak deras.

"Kenapa?"

Di belakang, Aisha diam-diam menggigit bibirnya. "Baru berdiri aja, Irsyad suka tiba-tiba datang buat nawarin diri---"

"Yaudah mulai besok saya akan stand by disana. Saya gak akan kasih celah buat siapapun yang mau bantu kamu."

"Hah?!" Aisha tak habis pikir.

"Kenapa?"

"Kalo emang Gus gak izzinin saya buat nerima bantuan mang santri gak masalah. Saya akan bawa sendiri cuciannya!" tukas Aisha.

"Saya tidak bermaksud untuk membuat kamu kerepotan. Sebelum Irsyad, saya yang sudah lebih dulu mencintai kamu, jadi tidak akan saya biarkan ada lagi lelaki manapun yang mendahului saya. Karena kamu sekarang sudah terikat dengan saya."

"Bukankah itu lebih baik daripada saya harus melihat puluhan santriyah menatap Gus dengan mata berbinar dan berbagai pujian basi itu?"

Idris bungkam ketika perkataan Aisha barusan sukses membuat darahnya berdesir lebih cepat. Ternyata wanita itu tak kalah besar rasa cemburunya dengannya. Terbukti dengan jawaban gadis itu yang berhasil membuat sudut-sudut bibirnya melengkung indah. Ketegangan lebur begitu saja. Ketika kini Idris tahu bahwa Aisha sedang menahan cemburu atas keputusannya untuk stand by di tempat yang selalu ramai oleh santriyah di pagi hari itu.

"Kamu cemburu?"

"Saya gak suka." Aisha menjawab singkat, sedikit dibumbui ketajaman.

Idris terkekeh pelan, suaranya bagai kutub es yang mencair, menghanyutkan bersama suasana yang menenangkan. "Apa yang kamu suka, hm?"

Aisha hanya diam. (Ngambek)

Idris menurunkan ember di pelataran rumah setelah tak terasa akhirnya mereka sampai. Ini yang ia impikan sejak tadi, bisa melihat pemandangan favoritnya yang ia sukai akhir-akhir ini yaitu wajah masam Aisha yang terkesan menggemaskan dimatanya ketika gadis itu sedang cemburu atau tidak mood.

"Tunggu saja, saya akan segera mengakhiri waktu dimana saya bisa memeluk kamu kalo lagi cemburu."

Bisikan itu jelas membuat Aisha merinding. Dengan tatapan tak habis pikir dirinya menyaksikan bagaimana punggung kekar itu perlahan menjauh, lalu ditelan pintu berwarna cokelat legam. Kini hanya tersisa dirinya bersama angin dan sisa debar-debar hangat yang telah berhasil menerbangkan ribuan kupu-kupu di perutnya.

* * *
TBC


Maaf lama gak next, lagi gk mood. Dan gk tau harus semangat pake cara apa lagi;(

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang