"Katanya hari ini ada yang mau di ta'zir gegara ngobrol sama santri laki-laki."
"Siapa?"
"Gak bisa bocorin sih, nanti juga tau sendiri."
"Cluenya dong, asrama 1 atau 2?"
"Asrama kita."
"Hah?! Siapa? Kasih tau dong!"
"Ledekan yang lagi buming sebelum liburan kemarin. Aku juga speechless banget, masalahnya si ceweknya gak ke wajahan bisa seberani itu."
"Siapa sih?"
Tak mau membiarkan temannya mati penasaran, gadis berkerudung hijau lumut itu lantas membisikan siapa si tersangka tersebut pada temannya.
"Hah?! Serius?" Saking tak percayanya, yang dibisiki pun membulatkan mulut.
"Yakan? Ilfil banget akutuh."
"Seberani itu? Gak nyangka." Yang satunya tertawa culas.
Aisha yang memang kebetulan lewat di antara kerumunan balkon dapur hanya menghela napas, tak penasaran juga tak ambil pusing, yang membicarakannya pun anak yang terkenal pecicilan dan tukang ngintip, jadi perasangkanya tak jauh dari salah satu diantara kumpulan itu.
Hari ini ia tak lagi menjadi badal di rumah Ustadzah Mariam, pasalnya Talita- orang yang ia gantikan posisinya sudah berangkat ke pondok. Jadi ia putuskan pagi ini untuk mencuci pakaian. Setelah berputar-putar mencari ember kosong, akhirnya ia menemukan satu ember yang tergeletak begitu saja di balkon jemuran tepatnya tak jauh dari toren biru.
"Perasaan ember banyak, makin hari keknya ilang satu-satu deh," gerutunya seraya meneliti apakah ember itu tidak ada yang membare.
"Ember aku!"
Ia tersentak, menoleh kebelakang dan mendapati Acha disana. Belum selesai sampai disana, ia kembali dibuat kaget ketika gadis itu dengan kasar merampas ember di tangannya, hingga besi kecil diujung jinjingan itu melukai tangannya.
"Cha?!" Ia refleks meninggikan suara seraya menyaksikan bagaimana darah merembes di pergelangan tangannya, bukankah gadis itu bisa minta baik-baik? Lagipula ia belum mengambil alih hak benda itu, bahkan baju kotornya masih ia peluk belum dimasukan.
"Kalo barang udah dibare sama orang lain tuh jangan asal pake. Ghosob namanya!"
"Asstagfirullah Cha. Aku belum taruh bajunya loh, lagipula aku teliti kalo pake barang. Kalaupun aku tau itu udah ada yang bare aku minta izin dulu sama orangnya."
"Terus ini kenapa maen ambil aja-"
"Yakan aku gak tau!"
Gadis itu berdecih. Tersenyum smirk, dengan tatapan yang seolah-olah menelanjangi Aisha dari atas sampai bawah. Aisha sampai dibuat jengkel setengah mati ketika melihat tatapannya yang sangat sangat merendahkan dirinya. Hanya perihal ember?
"Ambil tu ember!" Aisha lantas pergi darisana dengan suasana hati yang kacau. Pagi ini, ia pikir semua akan membaik setelah drama piket selesai, nyatanya episode selanjutnya bertajuk 'ember' kembali membuatnya carut marut.
"Dih gatau malu, penampilan aja alim, kerjaannya langganan di ta'zir," gumam Acha.
Aisha menyeka air matanya kasar. "Ergh! Kenapa sih pake nangis segala?!" Ia menampar pipinya keras. Memasuki kobong luar, dirinya melempar baju kotor itu hingga berserakan, mungkin itulah caranya melampiaskan kekesalan pagi ini.
Setelah beberapa menit dalam gemuruh dada yang tak bersuara. Aisha lantas memilih bangkit. Biasanya, Via selalu datang disaat-saat dirinya seperti ini, dia akan menenangkannya dengan cara sederhana yaitu memberikan segelas air. Tapi pagi-pagi sekali gadis itu sudah pergi ke rumah Kang haji Muslim untuk menjadi badal piket. Baru saja ia bangkit untuk memunguti pakaiannya, pintu ruangan itu terbuka hanya untuk memperlihatkan Gendhis disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...