Saat-saat setelah liburan seperti ini biasanya tidak semua santriyah patuh dengan jadwal berangkat ke pondok yang sudah ditentukan Gus Adam selaku pemegang keamanan dan ketertiban pondok pesantren An-nur. Ada yang memilih ngaret karena alasan masih betah di rumah, sakit, atau seribu satu cara lainnya agar mereka mempunyai waktu lebih lama bersama keluarga. Hal ini tentu membuat beberapa masayikh repot, pasalnya mereka membutuhkan tenaga kerja santri maupun santriyah untuk membantu-bantu di rumah, sesederhana mengasuh putra-putrinya, beres-beres, sampai cuci piring yang umumnya dilakukan santri laki-laki. Oleh karena itu, orang-orang yang belum punya kewajiban piket masayikh biasanya dijadikan sasaran untuk dijadikan badal.
Aroma detergen menguar bersama semilir angin yang membawanya, tetes demi tetes air cucian perlahan menggenang. Dan disinilah tempatnya menenangkan diri, jemuran. Pagi ini Aisha lebih memilih menarik diri dari kerumunan ketika beberapa teman-temannya menyambut kedatangan Gissya dengan begitu antusias. Sofa family juga sepertinya sedang menikmati nasi bungkus yang dibawa Gissya untuk kemudian menikmatinya bersama. Hari ini yang berangkat ke pondok sudah terhitung delapan orang, suasana mulai ramai dan Aisha tak suka itu.
Hanya disini ia bisa berbagi rasa bersama semilir angin yang membelai setiap sarafnya tanpa terjamah manusia, namun sepertinya dugaannya salah, karena ketika ia sedang asik melamun tiba-tiba saja Acha datang menyapanya dengan riang. Jujur ia tak nyaman, namun tetap memaksakan seutas senyuman hanya untuk sekedar menghargai.
"Kenapa gak ikut makan? Udah sarapan belum?" tanyanya seraya mengatur nafas karena kepedasan.
"Udah."
"Bohong." Gadis itu menyeletuk seraya memutar keran yang menyambung dengan toren biru, sumber air asrama 2.
"Gak bohong, kamu aja yang gak tau."
"Udah ayo!" Gadis itu menariknya untuk bangkit setelah mengelap telapak tangannya yang baru saja di cuci. Karena Acha tau. Aisha sedang membohonginya.
"Gak mau, aku gak lapar!" Aisha berhasil melepaskan tangan Acha. Jawabannya yang terlampau jujur membuat Acha sedikit tertegun, mungkin sedikit terluka karena mendapat penolakan atas ajakannya.
"O-oke. Jangan ngelamun." Sebelum akhirnya gadis itu memilih pergi setelah tersenyum samar padanya.
Aisha menghela nafas. Ia memukul pelan bibirnya. "Kebiasaan deh kalo lagi badmood gak bisa di rem," gerutunya.
Baru saja ia akan meneruskan lamunannya. Tiba-tiba saja perutnya diserang sembelit bukan main. Aisha gegas pergi ke kamar mandi dengan mengambil jalan tangga belakang dimana tangga itu langsung tertuju ke kamar mandi tanpa berbelit-belit lagi.
* * *
"Aisha mana sih?" Gissya bertanya disela decapannya.
Tak ada yang berani menjawab, Sofa, Tata maupun Via kompak pura-pura tidak mendengar dengan terus mencomot nasi uduk dihadapan mereka. Sadar bahwa perilaku mereka ini hanya akan membuahkan kecurigaan, Tata pun angkat bicara.
"Bentar lagi dia pasti datang," ucapnya, padahal kalimat itu hanyalah sebaris dusta.
"Perasaan dari awal aku datang Aisha gak ada nyamperin aku," imbuhnya lagi, yang membuat Via diam-diam kehilangan selera makan paginya. Ia tau ini salah, tapi membenci Irsyad tanpa membenci Gissya adalah sebuah kekurangan yang wajib dilengkapi. Sesat memang.
"EKHEM! EKHEM! EH,,, AIR DONG!" Via memegangi tenggorokannya dengan sedikit bumbu drama agar topik ini segera dihentikan.
Refleks, Gissya segera memberikan botol di sampingnya, menatap Via dengan gestur khawatir."Pelan-pelan, Ya." Sofa berujar seraya menyenggol lengannya.
"Gak papa, 'kan?" Gissya.
Via menggeleng seraya mengusap lehernya. "Aman." Gadis itu tersenyum tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Ficção AdolescenteBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...