PART 39: NING YASMIN

42 6 0
                                    

Pagi ini mentari agaknya sedikit sudi untuk memancarkan cahaya orennya di ufuk timur setelah sekian lama absen dari tugasnya, sebab akhir-akhir ini awan kelabu senentiasa menguasai setiap sudut bumantara dengan guratan kelabunya. Cerahnya langit kala itu rupanya cukup berdampak pada suasana hati sekumpulan manusia yang sedang bercengkrama di dapur, obrolannya itu terdengar hangat karena sesekali diselingi godaan dan tawa, umpamanya sehangat sinar arunika pagi ini.

Kala itu, saat Aisha sedang berkutat dengan sutil dan wajan di atas perapian, kedua adik kakak datang menghampirinya dengan embel -embel perdebatan kecil yang mereka bawa ke dapur lalu berujung duduk di kursi tempat makan untuk sekedar menemaninya yang sedang menggarap bahan olahan makanan. Bersama mereka, waktu yang Aisha punya terasa menyublim begitu saja, hingga tak terasa kini dirinya sampai pada tahap pengemasan pesanan ketring hari ini. Ngomong-ngomong Ustadzah Aminah, beliau memasrahkan semuanya pada Aisha sesaat sebelum beliau pamit keluar bersama abi.

Duduk di lantai dengan jarak yang berjauhan, Idris maupun Yuhan memiliki inisiatif yang sama yaitu membantu Aisha. Untuk sekedar membungkus-bungkus sepertinya bukan pekerjaan yang sulit dilakukan, berbanding terbalik dengan urusan memasak dan segala rempahnya.

"Tau nggak bang? Mbak Aisha kalo di kobong udah ganti panggilan jadi Ning Aisha loh," celetuk Yuhan ditengah-tengah obrolan mereka.

Idris tak menimpali, atensi lelaki itu yang semula fokus pada sambal goreng kentang yang tengah dibungkusnya seketika berpindah pada sosok wanita yang sedang tersipu saat ini.

"Memang mereka semua udah tau?"

Aisha mengangkat pandangannya dengan sisa-sisa senyuman akibat dari godaan Ning Yuhan barusan. "Berita-berita semacam ini, layaknya bensin diatas api di kalangan santriyah, jadi tidak heran kenapa langsung jadi trending topik."

"Siapa yang ngebocorinnya?"

"Saya sudah merahasiakannya sebisa mungkin. Tapi malam setelah acara itu--"

"Malam setelah acara? Padahal belum satu jam kita memutuskan untuk merahasiakan hubungan ini?!" kaget Idris.

"Iya. Saya juga gatau di kobong akhirnya akan menjadi seperti ini. Yang jelas awal mulanya karena bucket bunga."

"Bucket bunga?"

"Karena sebelumnya saya menitipkan bucket bunga sebelum memenuhi panggilan umi ke salah seorang santriyah. Terus pulang darisini saya dapat bunga lagi, jadi apakah ada alasan kenapa mereka tidak bisa seheboh itu?"

Idris terkekeh. "Saya kira kamu sengaja membeberkannya."

"Aku menyukai kenyamanan dari keheningan."

"Jadi apakah setiap ledekan mereka membuatmu tak nyaman?"

"Tentu saja, karena setiap harinya mereka akan banyak menyebut namamu dari bibirnya."

Idris seketika menghentikan gerak tangannya lalu menoleh pada gadis yang barusaja berkata dengan ringannya dengan wajah tak berdosa, seolah tak memperdulikan bahwa dampak dari ucapannya barusan nyaris membuatnya terbang ke awang-awang. Tanpa sepengetahuan Aisha, diam-diam Idris tersenyum simpul.

"Apa kau cemburu?" tanyanya pada gadis yang masih khusu membungkusi nasi dengan daun pisang itu.

"Tidak." Aisha menggeleng dengan ringannya, tanpa melihat bagaimana ekspresi kecewa Idris setelah mendengar jawabannya. "Hanya saja, saya ingin menjalani sebuah hubungan dimana hanya ada kita di dalamnya." Dan setelah itu Aisha mengangkat pandangan hanya untuk menemukan tatapan penuh cinta yang ditujukan Idris padanya. Aisha tersenyum hangat begitu pula dengan Idris dihadapannya.

"DDARR! DENGARKANLAH!!!"

Dalam sekejap mata benang tak kasat mata yang mengikat sepasang mata yang tengah dimabuk cinta itu terputus begitu saja karena kelakuan Ning Yuhan yang tak bisa jika tidak menjahili kedua kakaknya. Sementara Aisha tertawa dan meneruskan kegiatannya berbeda dengan Idris yang malah menggerutu sebal di depan adiknya yang kegirangan.

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang