Aroma sedap yang khas menguar memenuhi udara, ketika Ustadzah Aminah memasukan bumbu merah yang sudah dihaluskan ke dalam minyak panas. Tak lama setelah wangi tersebut menyebar keseluruh ruangan, pintu dapur tiba-tiba berderit, memperlihatkan gadis berperawakan kecil disana, lengkap dengan benda pipih di tangan kanannya.
"Yuhan kamu baru pulang?" tanya sang ibu seraya menoleh singkat.
"Iyah."
"Kondisi mbak Aisha gimana sekarang? Udah mendingan?" tanyanya seraya memasukan beberapa lembar daun salam ke dalam tumisan bumbu.
"Hari ini udah mulai fit lagi kok."
"Alhamdulillah." Ada sedikit jeda dari obrolan mereka sebelum akhirnya Ustadzah Aminah kembali bertanya." Kira-kira mbak Aisha masuk piket enggak yah hari ini?"
"Yuhan gak tau, enggak nanyain juga," jawab gadis itu seraya mengendigkan bahu.
"Gausah ditanyain, kalo sekiranya mbak Aisha belum siap piket lagi gak papa. Tapi hari ini pesenan ketring lagi banyak, jadi, umi butuh asisten buat urus semuanya."
"Mau aku panggilin?"
"Udah enggak usah. Takutnya mbak Aisha belum sembuh total, kalo kecepean terus sakit lagi umi gak mau. Jadi kalo bisa, panggil aja mbak santri yang nganggur di kobong kesini, satu orang aja."
"Okey, bentar yah?" Yuhan mengacungkan tiga jari sebagai tanda bahwa dirinya menyetujui perintah sang ibu.
Ustadzah Aminah hanya mengangguk singkat. Kini perhatiannya kembali fokus pada potongan ayam berbalut bumbu merah menggoda dalam wajan. Sebenarnya ustadzah Aminah terpaksa mencari badal Aisha, sebab jika bukan karena pekerjaan yang menumpuk dirinya ingin-- jangan sampai ada yang menjadi pengganti Aisha disini. Karena jujur saja, selain putranya, beliau juga terpikat dengan Aisha atas kepiawaian yang gadis itu miliki ketika berkutat dengan dapur.
* * *
Hari ini hari jum'at, orang pertama yang baru saja selesai dengan ritual mandinya hari ini adalah Idris. Sebenarnya ini bukan rutinitasnya, karena biasanya ia akan mengambil antrian ke 3 atau ke 2, maklum-- satu rumah dihuni oleh 5 bujang belum lagi abi, jadi bisa dipastikan hari jum'at menjelang siang- kamar mandi tidak akan kosong, karena untuk mengikuti sunnah nabi mereka melaksanakan adus terlebih dahulu sebelum berangkat melaksanakan sholat jum'at. Bersama handuk yang tersampir di bahu kanannya, lelaki itu berjalan menuju dapur lengkap dengan aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya ia sesekali menggosok rambut bagian belakangnya menggunakan handuk.
"Umi? Kemeja aku yang putih dimana yah?"
Sontak ustadzah Aminah dan gadis disampingnya menoleh tepat ke arah dimana Idris berdiri, sepertinya lelaki itu tak tahu dengan kehadiran santriyah di dapur, jadi tanpa malu dirinya bertanya demikian tanpa memikirkan konsekuensi kalo bisa saja santriyah itu berfikir 'udah gede kok masih nanyain baju sama ibu, bukannya disimpen sendiri'. Baik santriyah itu maupun Idris sama-sama terdiam setelah menyadari keberadaan masing-masing, seolah-olah berkata 'Lah kok ada santriyah disini?' Lelaki itu malu, lantas memundurkan langkahnya beberapa jengkal ke belakang lengkap dengan suara gesekan sendal yang dikenakannya.
"Umi simpan di lemari hanger, makannya kalo abis make tuh jangan ditaro sembarangan, jadi nyariin kan?" omelnya, dan semakin membuat Idris malu dihadapan santriyah itu.
"Iya maaf, makasih mi," ucapnya singkat, gegas pergi untuk menyembunyikan gelagat kikuknya dibalik wajah selempeng jalan tol itu.
Masuk ke dalam kamar, bukannya mencari barang yang dimaksud,
lelaki itu malah membatu di balik pintu. "Sheena jadi badal Aisha?" gumamnya dengan wajah serius-- "Atau Aisha diganti oleh Sheena?" Jujur saja, kini hati dan pikirannya dihantam rasa cemas yang membabi buta atas kehadiran Sheena yang membersamai umi di dapur.* * *
Tepat ketika Idris membuka pintu utama, iring-iringan santriyah berjalan tepat disamping rumahnya menuju makam Umma, yang notabene sebagai Alm. Ibu Nyai dipondok ini selama beliau masih hidup. Kegiatan ziaroh ini rutin dilaksankan hari jumat tepat ketika santri laki-laki sedang jum'atan. Berhubung karena makam Umma berada dekat dari belakang rumahnya jadi bisa dipastikan rombongan santriyah tidak hanya melewati rumahnya tapi juga asrama santri laki-laki. Tapi entah mengapa jum'at ini mereka ziaroh lebih awal, bahkan santri laki-laki belum seluruhnya berangkat sholat jum'at mereka sudah beriringan menuju makam. Terlepas dari semuanya, ini bukan tentang mereka yang ziaroh lebih awal, atau apalah itu, tapi-- tentang harapan bisa melihat sang pujaan diantara rombongan.
Boro-boro memperhatikan satu persatu dan menilik-nilik keberadaan Aisha, Idris sudah dibuat malu duluan oleh mereka yang memusatkan atensi atas keberadaannya di pekarangan rumah. Diantaranya ada yang saling berbisik menggunjingkan ketampanan gus muda itu, ada juga yang terverifikasi salting hanya dengan melihat sepasang mata Gus Idris, atau lebih parahnya sampai ada yang cacingan karena mencium semerbaknya minyak wangi lelaki itu. Jujur saja, ditatap intens oleh berpuluh pasang mata membuat Idris tak nyaman, maka dari itu dirinya bergegas pergi darisana. Keinginannya untuk melihat Aisha kandas, rindu pun tak berhasil ia tebas. Sebenarnys amalan apa yang diamalkan Aisha sampai membuat dirinya begitu tergila-gila padanya? Ah! rindu ini menyiksanya.
* * *
"Assalamualaikum?"
Yuhan berbalik, mengabaikan segelas minuman yang tengah ia buat hanya untuk menatap aneh kehadiran abangnya di ambang pintu. "Tumben banget sih, tadi mandi awal, pulang jum'atan juga awal," komen gadis itu.
Idris menggeleng pelan, masuk ke dalam rumah dengan ketampanan yang tidak berubah, masih sama seperti lelaki itu akan berangkat jum'atan tadi. Menutup pintu, "kalo ada yang ucap salam tuh jawab," ujarnya.
"Waalaikumsalam." Lantas Yuhan mendekat, menyalami tangan abangnya yang nampak lesu.
"Knapa sih? Belum makan? Lemes banget," komentarnya lagi. Karena jujur saja Yuhan baru pertama kali melihat pemandangan tak bergairah ini.
Alih-alih menjawab, Idris hanya merespon dengan seutas senyuman tipis disertai tepukan lembut di kepala Yuhan. "Tolong ambilin abang minum," ujarnya sebelum punggung kokoh lelaki itu hilang ke dalam kamar.
"Beku lagi deh esnya," gumam Yuhan.
Tak mau terlalu serius memikirkan perubahan sikap abangnya, gadis itu lebih memilih untuk melaksanakan perintah sang kakak untuk mengambil air di dapur. Tak banyak acara setelah menyiapkan minuman, Yuhan gegas saja masuk ke dalam kamar abangnya yang tidak di kunci.
"Ini minumnya."
"Taruh di meja dek." Karena dirinya sedang sibuk membuka kancing kemejanya satu persatu. "Makasih."
"Okey." Yuhan mengacungkan tiga jari lalu berbalik badan keluar kamar namun...
"Tunggu bentar, abang mau nanya..."
"Nanya apa?"
"Sheena--"
"Pesanan umi banyak banget hari ini, jadi terpaksa cari badal mbak Aisha," papar gadis itu tanpa aba-aba. "Cuma hari ini, besok enggak kok. Tenang aja, mbak Aisha juga udah kembali fit," sambungnya hanya untuk membungkam lelaki dihadapannya.
Tak tau harus menjawab apa, Idris lebih memilih untuk diam, diam-diam menyembunyikan telinganya yang memerah karena malu. Apakah kecemasannya selama ini terlalu jelas?
* * *
Assalamualaikuuuuumm....
Apa kabareuu, maaf karena ditinggal lama. Gus Idris sama Mbak Aisha udah balik lagi kok buat nyapa kalian readers2 kesayangannyaaaa... part ini pendek bgt, maaf soalnya otak agak ngelag akibat hiatus yg gk tau diri Hahaha. tap-tap bintangnya yah♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...