Aroma pedas yang khas dari seblak yang baru diangkat dari kompor membuat siapapun meneguk ludah. Tampak menggoda dengan bumbu merahnya yang siap membakar lidah.
"Menyingkirlah wahai manusia, kuali panas akan segera datang!"
Gendhis membuat pengumuman sebelum dirinya membawa kuali besar keluar dari dapur dengan tergopoh-gopoh.Menggeleng pelan, Aisha lantas membuntuti Gendhis seraya menyeka keringat yang meluncur di dahinya. Langit biru saja ternyata tak cukup untuk menghilangkan lelahnya hari ini. Agaknya ia butuh yang segar-segar untuk menyegarkan tenggorokan. Paling tidak es batu ditambah serbuk jeruk, sungguh perpaduan yang menggiurkan.
"Mau ke kantin gak? Nitip es batu pake serbuk ya?" Aisha berpesan pada Via yang tengah duduk memperhatikan anggota piket masak hari ini sedang membagi jatah makan siang.
"Udah tadi. Keknya Kak Gissya deh yang mau ke kantin, sini uangnya biar aku yang titipin." Gadis itu gegas bangkit sembari merampas uang di tangan Aisha.
"Eh tunggu dulu. Bilangin pilih esnya yang besaran dikit, terus serbuknya teh apel, atau apa aja yang penting ada asem-asemnya yah!" Aisha tetap bicara meski Via lari begitu saja, sudah biasa memang.
Aisha menghela nafas, lantas memilih duduk diantara rekan piketnya. "Kebagian semua gak?"
"Dikit-dikit aja yang penting adil dan kebagi rata," jawab Kak Elsa memberi intrupsi.
"Iya, lagipula seblaknya pedes, jangan banyak-banyak nanti sakit perut," tambah Aisha.
"Siap chef!" jawab Gendhis. "Sumpah ini seblak paling menarik yang pernah aku temui. Aku siap jadi karyawan kalo mbak Aisha buka warung makan," ujarnya membuat Aisha tertawa.
"Makannya ke nagih aja gitu, gak bosen dan gak mau berenti." Rekan yang lain mempertegas bahwa cita rasa masakan Aisha memang tak bisa diragukan lagi.
"Abis ini mau minta resepnya ah. Aku bikin seblak di rumah gada warnanya, berujung nyungsep di tong sampah." Raya angkat bicara.
"Mungkin kamu gak pake cabe merah kali." Aisha menduga diantara tawanya.
"Bukan gak pake, cuma kelupaan doang."
"Terus inget-inget pas udah jadi gitu?"
"Iya."
"Ngaco kamu. Kalo aku yang kek gitu pasti udah diomelin habis-habisan sama Bunda. Nih yah, aku kalo masak dirumah tuh udah kek diawasin sama chef Renata tau, salah dikit kena kritik. Mana komennya lebih pedas dari seblak ini lagi."
"Bunda kamu tegas yah?" tanya Kak Elsa ingin tau.
"Lebih ke keras. Mungkin karena aku anak pertama, jadi semua yang ada pada aku harus sempurna luar dalam."
"Pantes masakannya enak. Lulusan master chef gays," celetuk Gendhis sedikit meledek.
"Bunda kamu pinter masak?" Elsa.
"Iya. Kata ayah juga aku pinter masak turunan dari bunda. Sebelum sakit, bunda tuh suka masak di acara-acara besar, kaya hajatan, ketring, yang kek gitulah pokoknya."
"Ouh pantes."
"Aisha! Aisha kamu tau gak? Kamu liat gak? Sini dulu kamunya sini, wajib liat pokoknya!" Via tiba-tiba datang dengan kehebohannya.
"Kenapa sih?" Aisha mengerenyit heran, meski malas ia memaksakan bangkit karena Via menariknya untuk berdiri dan menuntunnya ke pagar balkon.
"Tuh liat. Pacarmu mau latihan hadroh."
"AAA--mmm..." Via gegas membekap mulut temannya itu.
"Jangan berisik, kalo kamu ketauam ngintip gimana. Udah, kalo mau ngintip diem-diem bae," omel Via.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...