PART 17: BESOK ADALAH KEMATIAN

51 5 0
                                    

"Kemarin libur si Rifki ada ngabarin?"

Disela sesi membersihkan debu diatas meja, Aisha bisa melihat Via tersenyum sumir mendengar pertanyaannya barusan.

"Ada." Sungguh, jawaban jujur yang tak bergairah.

"Syukurlah. Gimana katanya? Baik-baik aja 'kan?" Aisha berpindah menenteng kemocengnya untuk membersihkan debu di lemari Al-qur'an.

Terdengar hela nafas panjang dan sukar dari Via. "Hubungan kita lama-lama kaya hubungan yang dipaksakan gak sih, Sha? Ibarat rumah kosong yang gak pernah terjamah manusia. Makin kesini makin gak ada artinya."

Seketika Aisha menghentikan gerak tangannya. Sejenak ia memutuskan untuk menaruh kemocengnya lantas duduk di sebuah bangku yang ditumpuk tinggi hanya untuk menyaksikan Via yang sedang mengelap kaca.

"Menurut aku kalian cuma perlu komunikasi, gak sih? Bukan dipaksakan, tapi kalian terlalu lama membentangkan jarak, hingga celah itu perlahan diisi oleh kesepian. Lalu keraguan mendominasi ketika kalian dipertemukan kembali."

"Gak ada yang berubah dari dia. Tapi rasanya kek asing aja. Gak sehangat dulu."

"Aku tau pikiran kamu Ya, pasti kamu bertanya-tanya apakah dia masih cinta sama kamu, apakah dia masih senang ketika santriyah menjodoh-jodohkannya dengan kamu, terlepas setelah LDR ini. Nih ya, kalo seandainya Rifki udah gak ada rasa sama kamu, dia gak bakal ngabarin kamu pas liburan kemarin."

Via melempar kanebonya asal, lantas ia menghampiri Aisha dengan wajah suntuk. "Aku cuma lagi berusaha move on dan terbiasa tanpa kehadirannya. Karena kemarin dia bilang gak tau mau berangkat lagi atau enggak, karena di rumahnya sibuk bantu orang tua. Dia juga nanya bagaimana sikap Zhara di kobong--"

"Kamu jawab apa?"

"Aku bilang yang sejujurnya--"

"Bagus!"

"Dan dia bilang, sikap Zhara emang udah biasa kaya gitu, bahkan ketika Rifki ada hubungan sama kak Sofa, Zhara juga sempat benci sama kak Sofa. Jadi darisana aku gak terlalu ambil pusing sama anak itu mulai sekarang."

"Tuhkan, Rifki masih sebegitu perhatiannya sama kamu. Coba pikir, kalo dia emang udah gak punya rasa, atau hubungan kalian hanya dipaksakan, dia gak mungkin khawatirin sikap adiknya ke kamu, Ya."

Untuk sejenak Via merenung, samar-samar mengangguk, menyetujui perkataan Aisha barusan. "Tapi bukan cuma itu Sha...." Hela nafasnya terdengar putus asa.

"Kenapa lagi?"

"Rifki dijodohkan sama orang tuanya."

"Hah?!"

"Itu alasan paling kuat kenapa aku mikir buat move on, karena setelah aku pikir-pikir buat apa hubungan kita sekarang kalo pada akhirnya Rifki jatuh ke pelukan wanita lain. Meskipun sekarang dia terus berusaha yakinin aku kalo dia gak bakal berpaling dan gak pernah mau nerima perjodohan ini. Tapi hal ini bener-bener ngebuat aku sadar diri, bahwa sudah seharusnya aku mengakhiri."

"Lah kenapa? Selagi cincin masih belum melingkar di jari wanita itu kenapa harus mundur?"

"Aku mah apa atuh, Sha? Ampas kopi! Sedangkan Rifki dari serbuk berlian. Kasta kita kayanya gak pernah cocok buat bersanding di pelaminan. Mungkin wanita yang dijodohkan sama dia juga dari kalangan orang kaya."

"Ck, Ya?! Stop ngebandingin kamu sama dia. Emang kamu kurang apasih? Kamu hidup cukup, keluarga lengkap, bahagia. Orang yang sekarang punya segalanya pun belum tentu bahagia sama hidupnya. Dan siapa tau alasan Rifki lebih milih kamu karena dia bisa bahagia dengan cara sederhana yang gak pernah dia rasain dimanapun sekalipun dia punya segalanya di dunia ini. Bahagianya dia tuh ada di kamu!"

Via diam dengan kenyataan bahwa ucapan Aisha barusan berhasil menjawab semua keresahannya selama ini, dan itu membuat hatinya perlahan-lahan bisa bernafas lega. Benar, 'bahagianya dia tuh ada di kamu'. Dan mungkin itu sebabnya Rifki bersikukuh mempertahankan hubungan ini, karena ia baru ingat bahwa lelaki itu sering mengeluh perihal dirinya yang terlalu dituntut ini itu oleh orang tuanya. Juga mukim di rumah bukan keinginan Rifki, melainkan ibu, bapaknya. Lelaki itu dari dulu sudah ingin berangkat ke pondok tapi selalu ditahan-tahan oleh orang tuanya.

* * *

Suara tawa anak-anak memenuhi ruangan, ketika Ida mulai memerankan posisinya sebagai pelawak diantara teman-temannya yang sedang melepas penat selepas kerja bakti membersihkan seisi asrama 2. Suasana nyaris masih seperti hawa liburan, karena anak-anak belum semuanya berangkat ke pondok, kadang diantara mereka ada yang memilih ngaret, atau kasus yang umum adalah terhalang ekonomi.

Karena kehadiran anak-anak yang masih bisa terhitung jari, suasana terasa lebih hangat ketika mereka memutuskan berkumpul di balkon dapur untuk menyantap nasi liwet sebagai menu makan siang hari ini. Sebutlah Chef Aisha, satu-satunya julukan yang pas untuk gadis itu ketika sudah menjamah dapur. Makanan tersaji dengan tampilan yang apik juga nyentrik diatas selembar daun pisang, membuat siapapun yang melihatnya langsung tergiur untuk menyomotnya.

Aroma salam dan sereh yang menjadi cirikhas kuat, pedasnya sambal, dan segarnya lalapan meredam tawa dan guyonan menjadi hening dalam elegi kenikmatan. Mungkin menu makan siang belum berjalan seperti pada umumnya, tapi nasi liwet yang terhampar dihadapan mereka saat ini menjadi sesuatu yang paling mereka syukuri siang ini. Siapapun di dunia ini pasti membutuhkan sosok seperti Aisha dalam hidupnya. Percayalah, wanita pinter masak itu idaman!

* * *

Selepas isya, saat kegiatan mengaji belum beroperasi seperti pada umumnya, pemadaman lampu tiba-tiba saja terjadi. Ida dan Gendhis yang berencana melipat pakaian terpaksa diurungkan, atau Via dan Tata yang berniat saling tes hafalan harus gagal, juga dirinya dan Sofa yang akan menyeduh teh terpaksa putar balik karena tak punya cukup keberanian. Akhirnya, mereka memutuskan bergumul dalam satu ruangan, dengan ditambah kehadiran Ning Yuhan.

"Kayanya ni mati lampu bakal lama." Diantara remangnya cahaya lilin Sofa menyeletuk.

"Sampe dua kali mati, mana hujan deres banget lagi," imbuh Ida.

Setelah berlama-lama dalam keheningan, Sofa kembali mengeluarkan keputusan. "Ngaji pasti libur, sekarang kita siapin surpet aja buat tidur. Untuk malam ini semua bobonya di kobong satu yah?"

"Iya lah, mana ada yang berani mencar. Da, anter aku bawa amparan sama bantal di kobong dua!" ajak Gendhis seraya beranjak. Namun saat itu yang mengintil tak hanya Ida melainkan Sofa juga.

"Biar kita yang amparin!" seru Tata dan Via yang dijawab acungan jempol oleh mereka.

Sementara disudut kobong, Aisha berkelana seorang diri menyelami kesunyian yang tercipta diantara remangnya cahaya lilin. Saat ini mungkin dirinya terlihat tenang mengusapi bahu Ning Yuhan diatas lahunan dengan penuh perhatian, tapi tidak ada orang yang tahu perihal isi pikirannya yang begitu ribut dan kalut. Kemarin, saat ia mulai menjauhi pekarangan dan perlahan kedua adik dan ayahnya hilang dari pandangan, ia mungkin masih bisa merasakan setitik kelegaan dalam hatinya, namun ketika ia mulai menginjakan kaki di tempatnya saat ini, ingatan 16 Februari kembali menyerangnya dalam bentuk belati yang mencabik-cabik dan merobek-robek hatinya lagi dan lagi.

"Kak Aisha? Kak Gissya kapan berangkat?"

Aisha butuh waktu yang lama untuk menjawab pertanyaan semudah ini. Karena ia harus meredam gemuruh dalam dadanya yang menciptakan sesak luar biasa, bagian paling sakitnya ia harus berpura-pura tersenyum untuk menutupi semua itu dihadapan putri sang guru.

"Besok."

Jawaban yang terlontar bersama setitik air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Dan besok ia harus siap untuk segala luka yang akan merengkuhnya.

* * *
TBC
To Be Continued

Kita Dalam Untaian Doa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang