Pada akhirnya, kini blender itu berada dalam kendali Aisha. Gelagat Idris yang semula meyakinkan bahwa lelaki itu bisa mengganti minuman sang adik yang ditumpahkannya hanya berakhir kekacauan setelah dirinya memencet tombol no.3 pada bagian badan blender tanpa menutup wadah penggilingan sampai akhirnya semua buah-buahan itu berserakan kemana-kemana. Kini lelaki itu memilih duduk manis bersama adiknya di kursi meja makan sembari menonton Aisha yang sedang membereskan kekacauan dengan seksama.
Setelah mengemas buah yang berjatuhan ke dalam kantong kresek, Aisha mulai mengeluarkan sisa buah dalam penggilingan blender lantas membuangnya dan mencuci benda itu, melewati Gus Idris dan Ning Yuhan, Aisha membuka lemari es untuk mengambil buah naga, mangga, dan apel beserta yogurt disana. Kembali ke pantry, dirinya mulai mengupas satu persatu buah itu dengan teliti dan hati-hati. Dan semuanya tak lepas dari perhatian Gus Idris.
Merasa bosan, Yuhan pun membuka obrolan. "Ngomong-ngomong, umi kemana?" tanyanya seraya celingak-celinguk setelah dirinya menyadari bahwa ada yang hampa dari dapur ini.
"Umi ke rumah Abah, kenapa gak ikut?" jawab Idris.
"Mau ngapain, setiap malem juga ikut."
"Ya emangnya harus malem terus? gak ada aturannya berkunjung ke rumah Abah cuma malem doang."
Yuhan tak menjawab, gadis itu memilih melarikan diri dari topik obrolan. Namun belum sampai lima menit gadis itu kembali membuka mulut.
"Bang tau gak?"
"Apa?"
"Abang lagi rame loh di santri putri..."
"Rame? Rame kenapa lagi?"
"Katanyaaa,,, Mbak Sheena sama Abang balikan lagi--"
Yuhan tak sempat meneruskan, sebab belum selesai dirinya memberikan penjelasan, Aisha di tempatnya tiba-tiba menyalakan blender dengan volume yang cukup bising, sampai-sampai dirinya dibuat kaget karena begitu mendadak. Disusul dengan suara benturan pisau dan talenan yang nyaring, suara yang khas ketika kita memotong sesuatu benda yang keras, tapi mana mungkin buah naga sekeras itu sampai menimbulkan suara layaknya sedang memotong ubi diatas talenan.
Idris melirik ke arah Aisha yang posisinya membelakangi dirinya, meski demikian, ia tetap bisa melihat bagaimana masamnya wajah gadis itu ketika diam-diam menyimak obrolan ia dan adiknya barusan.
"Terus-terus dek?" Idris menuntut penjelasan meskipun dari kata pertama saja dirinya sudah paham.
"Tau enggak? Mbak Sheena kayanya baper lagi deh sama Abang. Soalnya kalo santriyah lagi godain dia tuh senyum-senyum terus..."
"Kan kalo kaya gitu responnya mbak Sheena seolah-olah mengiyakan kalo dia memang balikan lagi sama Abang."
"Iyayah. Padahal yang disini gak tau apa-apa," timpal Idris seraya melirik ke arah Aisha meskipun gadis itu masih setia memunggunginya.
"Ini jelas dari ceweknya sih. Santriyah mah sensitif, perkara piket satu hari doang jadi gosip."
"Ck." Idris menyunggingkan senyuman seraya menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Kemudian lelaki itu memilih beranjak, berjalan menuju lemari es dimana letaknya berdekatan dengan si pembuat jus yang kini sedang bete bukan main.
"Buah naga keras yah?" Idris tak ada niat untuk tersenyum namun ketika tanpa sengaja dirinya melihat wajah Aisha yang benar-benar badmood, hati dan bibirnya tiba-tiba saja sinkron dalam memberikan reaksi serupa dengan yang tengah ia lihat dan rasakan saat ini.
"Tadi pisaunya agak kepeleset, tangan saya licin." Aisha panik, karena ternyata bentuk gertakannya yang ia salurkan lewat pisau yang dibenturkan diatas talenan ternyata cukup keras sampai-sampai Gus Idris ngeuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Ficção AdolescenteBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...