"Assalamualaikum?"
'Waalaikumsalam. Kak?'
Seutas senyuman indah melengkung begitu saja di bibir Aisha, dadanya tiba-tiba saja dialiri sesak tatkala mendengar suara sendu sang ibu di sebrang sana.
'Kakak ...?'
"Iya bunda." Aisha menatap langit, susah payah menahan tanggul air matanya agar tidak jebol.
'Kakak udah makan? Lagi apa?'
...
'Kak ...?'
Lama Aisha tak menjawab hingga sang ibu menatap layar ponsel untuk memastikan telpon masih tersambung.
'Kak?'
"Maaf bund... Udah kok, kakak udah makan."
Sang ibu tertegun, terdengar jelas bagaimana suara Aisha yang tiba-tiba berubah.
'Kakak nangis?'
"Enggak!" Gegas Aisha membantah seolah-olah betulan ia tak menangis meski kenyataannya memang benar. Lalu ia samar-samar tertawa hambar untuk meyakinkan sang ibu.
"Bunda sehat? Udah makan? Udah minum obat?"
'Udah, Nak. Baru aja bunda selesai makan sama minum obat.'
"Ridan sama Agis lagi apa, bund? Gak kedenger-denger suaranya."
'Iya nih, kebetulan mereka lagi ikut ayah belanja.'
"Belanja buat keperluan warung? Bunda sendiri?"
Mendengar fakta bahwa sang ayah dan kedua adiknya sedang keluar, membuat keinginan Aisha untuk pulang akhir-akhir ini semakin menggebu-gebu, andai saja sekarang dirinya di rumah, ia ingin menemani ibunya sebanyak yang ia bisa, mendekap tubuh rapuh itu setiap saat, dan melihat bagaimana ibunya tersenyum sebanyak mungkin selama ia bernafas di dunia ini, hanya saja itu sebatas kata andai, andai, dan andai.
'Iya, gak papa kok. Bunda udah terbiasa sendiri, apalagi sekarang kedua adik kamu udah seneng main di luar sama temen-temennya, ayah stand by jaga warung depan rumah.'
Bahkan Aisha tidak sekali dua kali berpikir untuk berhenti mondok setelah ibunya diponis TBC kronis setahun yang lalu, harapannya ia ingin mukim untuk menemani dan memberi perhatian lebih untuk sang ibu, namun keinginannya itu tak kunjung dikonfirmasi oleh kedua orang tuanya, mereka keukeuh selama Aisha belum mendapatkan jodoh, diam di pondok, Ngaji! Begitu prinsipnya. Namun tak ada yang tahu, keinginan Aisha tidak sesederhana itu, ada faktor kuat yang membuat dirinya seringkali mengeluh ingin pulang, ia sepenuhnya betah tinggal di pondok, namun ia takut sesuatu di masa lalu akan terulang, hingga penyesalannya pun masih tersisa sampai saat ini.
"Bunda sehat kan?"
Terdengar kekehan diiringi batuk pelan setelahnya.
'Alhamdulillah, akhir-akhir ini badan bunda lagi fit. Lagi seger.'
Entah kenapa, meski sang bunda begitu yakin mengatakan itu, tetap saja gelenyar cemas menghantui Aisha tak ubahnya teror yang terus menguntai.
"Syukurlah. O'iyah ... besok jadwal bistel. Aku ingetin, soalnya ayah takut lupa, hehe...."
'Bunda juga mau nanyain itu daritadi, kamu butuh apa aja? Mau dibistel apa?'
"Sabun cuci abis, odol juga, kalo sabun mandi mah masih ada. Terus kakak butuh handuk kecil buat ngeringin rambut, selebihnya kakak serahin sama bunda."
'Iya, terus apalagi, Nak?'
"Untuk uangnya gimana adanya aja, jangan terlalu maksain."
Meskipun ia tau di rumahnya berkecukupan, tapi ia ingin sang ibu jangan terlalu memaksakan untuk memenuhi kebutuhannya, mengingat kedua adiknya masih bersekolah dan pasti banyak pengeluaran, ia rela dikesampingkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...