Aroma ketumbar, kunyit dan bawang putih menguasai udara setelah beberapa menit Aisha memasukan potongan ayam ke dalam minyak panas. Selagi menunggu matang, ia beralih menghaluskan kunyit, bawang merah, bawang putih, kemiri dan sedikit jahe dalam satu alat penggilingan, lalu memotong beberapa sayuran seperti wortel, labu siam, dan buncis, mencucinya hingga bersih. Mengambil wajan dan menuangkan sedikit minyak, ia kemudian menumis bumbu yang sudah dihaluskan tadi, hingga kombinasi rempah itu tercium tajam dan mengundang siapapun untuk melihat apa yang sedang dimasak olehnya sekarang. Lanjut memasukan air sebanyak 100ml ke dalam bumbu yang sudah matang, lalu disusul sayuran yang sudah dipotong-potong memanjang tadi, tak lupa menambahkan garam, gula dan penyedap rasa, lalu menutupnya hingga sayuran itu layu dan bumbunya meresap.
Sementara di wajan lain ayam gorengnya kini sudah menguning kecoklatan, warnanya cantik ditambah wanginya harum. Aisha gegas mengangkatnya dari penggorengan, untuk kemudian memasukan potongan tahu kuning yang dibagi dua berbentuk segitiga setelahnya. Acar tampaknya sudah siap, karena ketika ia mencicipinya, rasanya sudah pas dan mencapai kematangan sempurna. Mengambil wadah besar, ia kemudian mengalihkan acar itu dari wajan dan mencuci barang itu dengan gesit. Ia beralih memasukan cabe merah, bawang putih dan bawang merah ke dalam blender, menghaluskannya lalu menumisnya hingga harum tak lupa menambahkan salam dan serai, garam, gula, dan penyedap rasa. Telur rebus yang sudah dikupas ia masukan setelah ia rasa bumbu baladonya berada dalam kematangan yang cukup. Setelah beberapa menit tahu diangkat dari minyak panas, ia lanjut memasukan tempe yang sudah dibumbui dan dipotong-potong.
Belum selesai sampai disana, bahan-bahan untuk sambal sudah menunggu sedari tadi untuk dihaluskan, terdiri dari bawang putih, tomat, cabe kriting, dan cabe domba. Ia menggilingnya tidak terlalu harus juga tidak terlalu kasar, kemudian menggorengnya dalam minyak cukup setelah telur balado diangkat dari kompor. Ia kemudian menambahkan bumbu penyedap, aromanya yang menyengat sukses membakar dapur ini sampai atmosfir sekitar terasa lebih memanas dari sebelumnya, aroma pedas yang khas dan tajam membuatnya sesekali terbatuk.
* * *
Kini, selesai. Hari yang tak pernah ia bayangkan berjalan dengan lancar. 200 pesanan ketring siap dikemas setelah menu-menu masakan selesai tersaji dengan tampilan menggiurkan. Bahkan Ning Yuhan sampai menyeletuk begini, "Kayanya masakan mbak Aisha lebih enak dari masakan Umi."
"Syuuut, nanti Umi denger dimarahin loh." Aisha menahan tawanya.
"Gak papa, kan emang bener yakan Bang?" Ning Yuhan menoleh ke belakang, lebih tepatnya ke arah Idris yang sedang berkutat di depan westafel.
"Iya." jawab lelaki itu sekenanya.
Ning Yuhan tersenyum menang. "Tuhkan, udah dapat ferivikasi dari bang Idris. Umi pasti seneng banget sih ini."
Mendengar itu Aisha tersenyum tipis. Tiba-tiba saja hatinya disengat kekhawatiran, yang entah kenapa akan menimbulkan sakit jika dibayangkan. Mengolah semua bahan ini menjadi masakan bukan sepenuhnya keinginannya, ia hanya gadis bermodal nekat dengan niat mulia yaitu membantu sang guru memenuhi pesanan ketring yang pemiliknya sendiri kini sedang terbaring sakit. Tapi ia masih tidak tau, apakah cita rasa masakannya akan pas dan cocok di lidah Ustadzah Aminah atau malah sebaliknya, dan membayangkan hal itu cukup membuatnya terbebani.
"Yuhan, panggil santriyah di kobong buat bantu kemas. Siapa saja, asal ikhlas," titah Gus Idris. Karena setelah ditelusuri lebih dalam mengenai keluarga ini, ternyata hanya si anak sulung sendiri yang cukup aktif dan peduli pada pekerjaan dapur. Contohnya sekarang.
"Malah bengong." Gus Idris bersuara setelah Ning Yuhan keluar untuk menuruti perintahnya.
Aisha terkesiap. Berdehem pelan untuk mengurai kecanggungan.
"Kenapa? Ada yang salah?"
Gadis itu menggeleng. "Enggak."
"Terus kenapa bengong gitu?" tanyanya masih dengan gestur dingin yang kentara.
"Takut," lirih Aisha.
Gus Idris mengernyit. "Takut apanya?"
"Takut kalo masakan saya gak sesuai sama selera Umi."
Maka seketika itu juga, tawa lelaki dihadapannya pecah. Alih-alih kesal atau bertanya apa yang lucu, tapi yang Aisha lakukan saat itu justru membeku, memutar lambat bagaimana cara lelaki itu tertawa, suaranya, bibirnya, sungguh jika bisa, Aisha ingin menghentikan dunia dan memusatkannya pada pemandangan indah dihadapannya saat ini.
"Kamu planga-plongo daritadi cuma mikirin ini? Aisha... Aisha...."
GAK BISA! INI GAK BISA!!!
Apa katanya tadi? Ia tidak salah dengar 'kan? Pendengarannya baik-baik saja 'kan? Gus Idris baru saja menyebut namanya dengan bibirnya, dengan logat dan suaranya yang candu? Tidak! Aisha tidak yakin dengan apa yang ia rasakan saat ini, Aisha juga menampik keras-keras apa yang dirasa dalam hati kecilnya. Tidak semudah itu, juga tidak mungkin secepat ini, ia sudah membentengi dirinya dengan sebuah prinsip dimana dirinya tidak lagi-lagi bermain dengan yang namanya cinta dan tidak akan memunculkan sebuah perasaan yang sebelumnya sudah membuatnya kesakitan."Ekhem...."
Baik Gus Idris maupun Aisha mematung tatkala derap kaki dari seseorang mendekat ke arah mereka. Tak lama, Ustadzah Aminah muncul dari balik pintu, seraya menatap keduanya berulang kali dan jelas saja itu membuatnya sangsi.
"Idris?" Seakan mengerti dengan nada suara sang ibu, lelaki itu bergerak menjauh, membentangkan jarak antara dirinya dan Aisha yang memang sedari tadi berjarak cukup dekat.
"Masya allah, mbak Aisha? Apa ini?" Lalu dalam sepersekian detik atmosfir kembali mencair saat Ustadzah Aminah mendekat ke arahnya, menatap satu persatu masakan yang tersaji dalam baskom-baskom besar.
"Kamu masak segini banyaknya sendiri aja, nak?"
'Nak' katanya? Apalagi ini. Selalu saja seperti ini, tidak dari ibu maupun putranya kalimat-kalimat yang keluar dari bibir beliau selalu sukses membuat jantungnya nano-nano. Baru saja Aisha akan menjawab, tiba-tiba saja tubuhnya terasa kaku dan lidahnya kelu ketika melihat Ustadzah Aminah mulai mencicipi masakannya.
"Mmmm,,, ini rasanya pas banget. Beneran mbak Aisha yang masak?"
"Iya mi." Bukan ia yang menjawab, melainkan lelaki yang duduk di dikursi meja makan yang sedari tadi meledek habis-habisan ekspresi tegangnya dengan wajah jenaka.
"Umi tau? Masa tadi dia ngelamun terus karena takut. Cuma karena takut rasa masakannya gak sesuai sama selera Umi," paparnya.
"Apa yang ditakutin sama rasa masakan yang udah kaya buatan chef profesional ini?"
Wanita paruhbaya itu terkekeh, diikuti juga oleh putranya. Tidak melambung juga tidak bangga, tapi Aisha cukup terpaku pada kata 'Nak' yang diucapkan Ustadzah Aminah beberapa menit lalu. Ia belum lama piket disini, tapi melihat sekarang bagaimana Gus Idris tertawa begitu lepas mengimbangi candaan sang ibu, membuatnya memahami bahwa lelaki itu memiliki sisi hangat dan humoris dalam dirinya, hanya saja tertutup oleh aura dinginnya. Juga perihal perlakuannya tadi malam, mulai dari bertanya mengapa dirinya masih belum ke kobong padahal sudah larut malam, juga kerangka karton yang seharusnya menjadi list pekerjaannya selesai berkat tangan lelaki itu, atau tanpa kata maupun bujuk kata lelaki itu diam-diam mengikutinya dari belakang hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja dengan membawa cahaya senter yang menuntunnya sampai diasrama. Dan melihat bagaimana Gus Idris mengadu kepada Umi perihal dirinya yang mengkhawatirkan cita rasa, membuatnya merasa cukup dihargai keberadaannya di rumah ini. Tidak hanya sebagai khodam, melainkan ada maksud lain didalamnya.
* * *
TBC
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...