Kedatangan Gus Adib dan keluarga kemarin sama sekali tidak membubuhkan kecurigaan bagi Idris, baik itu kepada Umi dan Abi sekalipun. Mereka pikir niat Gus Adib memang bulat untuk mengeratkan tali silaturahmi, namun ternyata beliau punya niat tersendiri dalam kedatangannya kali ini. Memang benar, Idris ini, belum seutuhnya lepas dari ikatan pondok atau biasa orang sebut boyong atau mukim. Kala itu Idris dijemput pulang karena sakit, namun ternyata sakit yang hanya dianggap demam biasa itu ternyata berbuntut serius setelah Dokter mengeluarkan vonis bahwa dia terkena tifus. Hal itu mengharuskannya untuk istirahat total terlebih ia disana jadi khodam sebagai supir khusus keluarga kyai yang tentu waktu istirahat tidak tercukupi. Maka dari itu atas permintaan Abi, Idris dibiarkan dulu diam di rumah untuk sementara. Namun setelah satu bulan lamanya, baik dari Umi maupun Abi bahkan Idris sendiri tidak memberikan sinyal-sinyal kembali berangkat ke pondok. Dan darisana, Abi malah memberikan kendali atas toko pakaiannya di sebuah pusat perbelanjaan kepada lelaki itu. Yang dimana, toko pakaian itu sendiri adalah salah satu aset keluarga mereka. Hal itulah yang membuat Idris merasa memikul beban di rumah, merasa mempunyai tanggung jawab tersendiri meskipun ia tidak setiap hari menjaga toko, dan mengeceknya namun kemajuan toko ada di tangannya, mulai dari urusan keuangan, keluar masuk barang, pemasok, pengimpor dan urusan gaji para karyawan. Sejujurnya hal ini tidak banyak diketahui orang-orang termasuk para santri, mungkin karena melihat Idris selama ini hanya santai berkeliaran seperti tidak punya beban padahal jiwanya jiwa pebisnis abis.
Dan malam itu tepatnya di ruang tamu sebelum pamit untuk pulang, Gus Adib berbicara cukup serius kepada Abi, tepat di depan dirinya beliau meminta izin untuk kembali mempekerjakannya sebagai supir di pondok atau secara tidak langsung menyuruh Idris untuk kembali berangkat ke pondok.
"Jujur saja. Semenjak Idris di rumah, mobil abah selalu terparkir di garasi."
"Idris, kamu tau sendiri 'kan adat abah gimana? Beliau itu kalo udah nyaman sama satu sopir ya istiqomah itu-ituuu aja. Dan asal kamu tau semenjak kamu di rumah, abah jadi jarang keluar, bahkan undangan-undangan keluar kota sering ditolak sama beliau, tidak hanya karena alasan kondisi tapi juga karena alasan kenyamanan dalam perjalanan."
"Tapi Abah ini cuma mau jalan kalo saya yang sopirin. Tapi 'kan saya juga sama-sama sibuk, undangan kesini, abis ini kesini, belum lagi kesana, hadduh... gak selesai-selesai pokoknya. Jadi saya minta tolonglah sama kamu, berangkat lagi ya nduk?"
"Nggih Gus." Idris mengangguk dengan takdim.
"Kalo besok berangkat gimana?"
Idris tak langsung menjawab, sebab yang terlintas dipikirannya saat itu adalah bayang-bayang Aisha.
Dan sekarang ia berakhir merana, aroma khas dari jalan tol yang biasanya bersahabat dengannya kini seketika berubah menjadi bius yang membuat dirinya cemas dan khawatir sekaligus, terlebih tatapan sendu Aisha padanya tadi siang terus menghantui ingatannya, bahkan yang lebih parah, bayang-bayang wajah itu sampai menghiasi kaca spion mobil yang sedang ia kendarai berulang kali.
"Abang ngantuk?" tanya Abi. Karena teknisnya lelaki itu sudah ada dibalik kemudi selama berjam-jam bahkan tak terasa langit kini sudah berubah menjadi gelap.
"Enggak." Idris menoleh sekilas hanya untuk mendapatkan wajah khawatir Abinya.
"Jangan ngelamun, Bang. Kalo ngantuk gantian sama Abi."
"Iya siap," jawabnya seraya memberi senyuman tipis.
Diam-diam di bangku belakang Yuhan menyipitkan matanya, menatap Idris dengan penuh intimidasi dan kecurigaan lalu ia berujar dengan frontalnya kepada Abi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...