"Cek... Cek... Satu... Dua."
Acara akan dimulai beberapa menit lagi, sound sistem sepertinya sedang dipersiapkan karena terdengar suara mang santri yang sedang memastikan mic dalam kondisi suara stabil. Di depan panggung, kursi-kursi sudah dipenuhi oleh orang tua santri, masayikh, santri putra maupun santri putri. Sementara di belakang panggung, santriyah yang akan mempersembahkan penampilannya malam ini sudah dalam keadaan cantik dan rapi bukan main, begitupun sama dengan grup hadroh yang berada di ruangan terpisah.
"Aku gugup banget, kayanya gak bisa deh."
"Husss, gak boleh ngucap sembarangan. Kamu kan gak sendiri."
"Iya tapi tetep aja gugup."
"Wajar gak sih kita gugup pas mau tampil di depan ratusan orang tua santri? Apalagi kalo ada calon mertua. Beuh...!"
Yang ada disana tertawa.
"Bisa-bisanya mbak Atik mikir begitu."
"Iihh, tapi bener kan?"
"Iya juga sih." Mereka kembali tergelak. Mbak Atik sebagai yang tertua disini akhirnya bisa mencairkan ketegangan adik-adiknya yang akan tampil, iya paham betul bagaimana perasaan mereka sekarang.
"Ini yang mau tampil udah kumpul semua?" tanyanya.
"Udah kayanya, tinggal mbak Aisha. Dia masih siap-siap karena baru pulang dari rumah Ustadzah Asma."
Mbak Atik mengangguk, paham dengan posisi Aisha yang sudah memiliki kesibukannya sendiri. Namun tak seperti dugaannya yang mengira Aisha akan datang terlambat, ternyata gadis itu datang ketika sedang dipertanyakan. Aisha datang dalam keadaan sudah fresh dan rapi, malam ini gadis itu nampak anggun mengenakan tunik berbahan crinkle berwarna sage tua, lengkap dengan sarung warna senada, ditunjang dengan kerudung paris berwarna hitam, kulitnya yang putih pucat nampak kontras dengan perpaduan warna yang pas. Cantik, satu kata yang pantas mendefinisikan gadis itu sekarang.
Sadar bahwa kedatangannya yang sedikit terlambat telah berhasil mencuri perhatian, Aisha mengangguk ramah sebagai bentuk sapaan dan ketidak enakannya. Menghampiri Mbak Atik, Aisha tersenyum. "Mbak maaf aku telat, tadi pulang piketnya mepet, terus tadi di kamar mandinya ngantri," papar gadis itu.
"Gapapa, Sha. Baru sambutan kok, lagian kamu tampilnya pertengahan kan? Kalo untuk penerangan kitab, itu biasanya naik panggung setelah binadzor sama baca kitab kosongan."
"Iya sih, tapi gak enak aja 'kan? Yang lain udah pada ngumpul."
Atik mengangguk-angguk, memaklumi dengan sepenuh hati seraya mengusap-usap punggung Aisha untuk meyakinkan gadis itu bahwa terlambat bukan hal besar, toh dirinya juga sebagai panitia persembahan tidak terlalu menjadikan ini sebagai masalah besar.
"Mbak Atiiikh... Hiks.."
Semua orang dikagetkan dengan kedatangan Naura yang sejak tadi izin ke toilet, dan kembali dalam keadaan yang bisa dibilang kacau dimana wajah gadis itu dipenuhi derai air mata.
"Ada apa, Nau? Ada apa ini?" Mbak Atik sendiri dibuat panik, gegas saja wanita itu berlari menghampiri Naura dan meraup tubuhnya yang lemas.
"Nau ada apa? Jangan buat kita takut." Aisha meraih jemari gadis itu yang terasa dingin. Raut khawatir tak bisa ia sembunyikan.
"Aku datang bulan." Tangis gadis itu semakin tak terkendali, seketika yang ada disana membatu. Sedangkan diluar sana bisa terdengar dengan jelas Gus Adam barusaja selesai dengan sambutannya, yang itu berarti setelah ini adalah pembacaan ayat suci Al-quran (qiro) yang akan dibacakan oleh Naura.
Tapi kejadian singkat barusan berhasil mengacaukan skenario, merubah keadaan yang semula adem ayem menjadi genting.
"Gus Adam udah selesai. Gimana ini Mbak Atik?" ucap anak-anak yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...