Aisha tak menutupinya dari siapapun bahwa saat ini dirinya disiksa rindu setengah mati pada sang pujaan hati. Bahkan seminggu penuh setelah kabar Irsyad pulang karena kakinya terluka serius setelah tergencet lemari, ia mendapati dirinya tak bisa seceria biasanya. Tetap saja terasa ada separuh yang hilang dalam jiwanya, itulah sebab mengapa akhir-akhir ini ia lebih banyak diam.
Aisha juga tak mengerti mengapa dirinya bisa secinta ini pada lelaki yang baru dikenalnya. Cuek bebek, gengsian tingkat dewa, dingin sedingin es, dan sangat fanatik dengan pacaran, sungguh Aisha kehilangan semua itu semenjak hujan bulan Oktober memperkenalkannya pada cinta. Apakah Aisha merindukan dirinya yang dulu? Ya, terkadang pemikiran semacam itu menyelinap begitu saja. Namun gadis itu juga tak bisa menyalahkan eksistensi rasa yang membuat hidupnya lebih berwarna. Terlalu kejam rasanya.
Jadi, untuk sekarang biarlah ia menjalani dan menghadapi kehidupan yang memang mungkin sudah ditakdirkan begini untuknya. Yang diatas juga tidak mungkin tega membiarkan hati hambanya kesepian terlalu lama, atau bahkan lahirnya Irsyad di dunia memang ditakdirkan untuknya.
Biarlah dikata berlebihan diatas ketidakpastian, Aisha tak peduli. Karena ia pernah mendengar sebuah petuah sederhana dari guru ngajinya di rumah, begini katanya: "Carilah lelaki yang bisa merubahmu menjadi lebih baik, maka itulah jodohmu yang sesungguhnya." Yang sampai saat ini dijadikan pegangan olehnya dikala keraguan mengikis keyakinan. Kenyataan bahwa Aisha berubah setelah mengenal Irsyad memang tak bisa disangkal, contohnya mau sesepet dan selelah apapun matanya ia akan berusaha menyempatkan untuk membaca Al-qur'an sebelum tidur, atau jemarinya tak akan pernah bisa jauh dari tasbih pijat barang semenit pun. Ia benar-benar memperbaiki kekurangan dalam dirinya.
Sore itu tiba-tiba saja langit menggelap. Aroma petrikor yang khas menyeruak tatkala rintik gerimis perlahan membasahi tanah, hingga dalam sepersekian detik rintik itu menjadi guyuran hujan yang begitu deras. Sama derasnya dengan rindu yang kini sedang membelenggu gadis-gadis pemuja cinta, salah satunya adalah Aisha.
Semenjak mengenal cinta, gadis itu rupanya tak lagi menyukai eksistensi hujan. Karena setelah ia sadari hujan ternyata identik dengan kerinduan dan kesedihan. Ia tak menyukai bagaimana langit menggelap disertai angin kencang, atau udaranya yang terasa dingin menusuk pori-pori. Namun, meski demikian kenyataannya, Aisha tetaplah menjadi pujangga cinta yang setia mendengarkan irama hujan dan baunya yang menenangkan. Karena katanya, hujan adalah lagu terbaik untuk menemani seseorang yang tengah merindu, bahkan teman setia dikala lara memeluk jiwa.
Jika saja pagar balkon bisa bicara, mungkin dia akan mengeluh, lelah, ditatap nanar oleh sepasang mata yang begitu sendu. Tolong bergairahlah sedikit. Mengapa cinta pertama ini berdampak begitu hebat dalam dirimu.
"Jangan galau terus." Suara Gissya tak ubahnya bagai tali yang menarik Aisha ke dunia nyata setelah menyelami lamunan begitu dalam.
Gadis itu tersenyum cerah. Lantas memilih duduk disebelahnya sambil mengemil kacang asin. "Mau?" tawarnya.
"Puasa."
"Ya ampun iya! Aku lupa ini hari kamis yah? Maaf-maaf."
Aisha tersenyum sumir yang bahkan nyaris tak terlihat. Ada apa dengan sahabatnya? Kenapa begitu bahagia hari ini. Padahal tadi pagi gadis itu marah-marah karena hal sepele, PMS memang seekstrim itu.
"Mau buka sama apa?"
Aisha menunjuk ke arah dapur dengan dagunya. "Via lagi gorengin telur. Udah makan belum?"
"Belum. Sengaja mau barengan makannya nanti pas adzan maghrib," jelas Gissya. "Sha, kamu pucet tau. Kenapa sih?"
"Iya, kenapa sih kek lebih banyak diam akhir-akhir ini." Sofa tiba-tiba nyambung ditengah percakapan padahal baru datang.
Yang dekat ternyata tidak selamanya peka dan sepemikiran.
"Udah, jangan tanya. Aisha lagi mode merindu. Gak kerasa Irsyad pulang udah seminggu loh gays." Via memberi jawaban dari tempatnya menggoreng telur.
Yang terdengar hanya hela nafas gadis itu.
"Utututu,,, si ucu kacian banget sih lagi rindu. Nahkan akhirnya ngerasain juga apa itu rindu," ledek Gissya.
"Iya. Dulu, aku benci banget sama film Dilan karena alay.Ternyata emang rindu itu berat yah? Bahkan yang aku rasa saat ini lebih dari berat, tapi sakit. Apa ini karma buat aku?"
Sofa mengulum senyum seraya membuka tepak nasi. "Beruntung banget Irsyad."
"Kenapa?" tanya Gissya.
"Dia gak pernah digosipin sama santriyah manapun, sekalinya digosipin sama wanita yang bener-bener tulus cinta sama dia. Harus banget inimah dijadikeun kalo liburan. Kalo perlu, kakak rela jadi comblangnya."
"Awas aja kalo dia nolak. Harusnya dia bersyukur dicintai sama Aisha tuh, udah mah cantik, pinter, masakan enak, suara bagus, gak gampang belok ke lain hati, kurang apa coba? Wanita spek idaman banget," tutur Via.
"Gak mungkin nolak. Keliatannya juga Irsyad suka sama kamu, Sha." Pernyataan Sofa rupanya sedikit menipis sepi yang mendekap hati Aisha sore ini. Benarkah? Ia hanya bisa menyembunyikan senyumannya.
"Tau enggak? Pas mau evakuasi lemari Tata, siapa yang nyuruh buat tutup pintu balkon?"
"Siapa?"
"Irsyad." Sofa melemparkan senyuman seakan menyakinkan bahwa Irsyad memang sosok yang pas untuk Aisha.
"Gimana ceritanya?"
"Jadi pas mau ambil lemari, dia tiba-tiba minta tolong ke kakak buat tutup pintu. Kalo lelaki lain mah boro-boro gitu, yang ada malah makin caper ditonton santriyah."
Bagi Aisha tak ada alasan lain mengapa dirinya sangat mencintai lelaki sesederhana Irsyad. Sudah jelas terlihat dari keperibadiannya bahwa Irsyad lelaki yang baik. Menurutnya fisik saja tak cukup dijadikan tolak ukur alasan seseorang mencinta, kadang dalam cinta romantis yang diharapkan hanyalah kebersamaan, sedangkan dalam cinta sejati kamu hanya akan mengharapkan kebaikan dalam diri orang yang dicintai.
* * *
TBC
To Be ContinuedNgantuk gesss😩
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...