Aisha harap, di hari pertamanya kembali piket setelah terbangun dari sakit ia tak dulu menemui Gus Idris, karena apa? Entah. Hanya saja Aisha masih butuh waktu untuk mencerna makna dari selembar surat yang datang begitu tiba-tiba. Tapi disisi lain, tak ingin bertemu rupanya hanya sebatas delusi, karena kenyataannya, baru melihat sepasang sendal yang tergeletak tak beraturan di teras dapur saja sudah membuat hatinya berdebar, seolah-olah ada sengatan listrik yang menyambungkan debar jantungnya dengan si pemilik sandal. Lama menyelami pikirannya yang keruh akibat sepasang sandal di teras dapur, gadis itu gegas menampar khayalan dengan sepucuk kenyataan bahwa dulu dirinya pernah terluka sangat parah akibat berani bermain-main dengan cinta. Dan selembar surat tempo hari, alih-alih membuatnya baper, Aisha malah terpekur beberapa hari, bingung harus bagaimana. Bukan trauma, hanya saja dirinya masih takut mengambil keputusan dalam hal yang sama.
"Eh? Mba Aisha?!"
Si empu tergemap, kaget dengan kehadiran Yuhan yang membuka pintu dapur dengan tiba-tiba.
"Kenapa gak masuk?" tanya gadis itu keheranan.
"Saya baru datang." Aisha tersenyum canggung.
"Oh yaudah ayo masuk. Pasti mbak Aisha canggung kan baru piket lagi."
Gadis itu hanya tersenyum manis. Lantas masuk ke dapur membuntuti calon adiknya. Eh...
* * *
Selesai dengan urusan dapur, Aisha masuk ke ruangan kedua dimana ruangan itu rawan menyebabkan bertabrakan dengan bujang-bujang penghuni rumah ini. Kok bisa? Bisa saja, karena dijam-jam seperti ini mereka masih terlelap dibawah selimut tebal, boro-boro nngeuh akan keberadaannya, jadi tak heran jika salah satu ada yang bangun lalu keluar kamar dalam keadaan nyawa belum terkumpul sepenuhnya tanpa menyadari adanya orang di ruang tengah pasti tabrakan tak terelakan, paling sering terjadi tabrakan di antara tirai macarame yang menjadi pembatas antara ruang tv dan ruang makan, disana rawan. Bukan disengaja, hanya saja sebuah kebetulan yang sesekali berakhir memalukan. Karena Aisha juga tak tau kapan mereka bangun lalu keluar kamar makannya ia juga tak bisa menghindar. Intinya sama-sama tidak tau, sama-sama tidak menduga.
Setelah selesai sholat subuh dan melakukan rutinitas paginya memang mereka tak ada kegiatan lagi, jadi bisa dipastikan mereka memilih tidur kembali setelah terbangun di jam 2 pagi untuk menunaikan sholat tahajjud. Sejujurnya hari ini dirinya agak kesiangan, awalnya ia takut Ustadzah Aminah sudah terbangun lalu memulai pekerjaan di dapur, tapi nyatanya di jam 06.13 ini semua orang masih ada di kamar masing-masing terkecuali Ning Yuhan. Pagi ini dirinya melakukan kegiatan sebagaimana hari-hari biasanya, mulai dari membereskan barang-barang yang tidak berada di tempatnya, menyusuri setiap inci perlemarian untuk menghilangkan debunya, dan mengumpulkan baju-baju kotor untuk kemudian ia kumpulkan ke dalam keranjang cucian.
Tepat di menit ke 15, Aisha selesai merapikan ruangan ini, lalu menyapu setiap sudutnya. Setelah itu lanjut mengambil lap pel. Tepat ketika jarum jam menunjukan pukul 06.47 semua pekerjaan dalam rumah sudah selesai. Tugas paginya hanya tinggal mencuci baju. Namun, perlu kalian tahu, bahwa sejak Aisha mengganti kemoceng dengan sapu di tangannya, seseorang baru saja keluar dari kamarnya lalu memutuskan untuk duduk di ruang tamu yang notabene ruangan itu begitu terbuka menghadap ke ruang tengah dimana Aisha melakukan kegiatannya. Jujur saja sebenarnya Aisha sedari tadi ingin memilih untuk menunda agenda mengepelnya, dan mendahulukan mencuci baju, namun ia berpikir kembali bahwa dengan cara seperti itu hanya akan membuat dirinya pulang ke kobong lebih siang, jadi... mengesampingkan rasa tak nyamannya karena keberadaan Gus Idris, ia berlaga cuek di hadapan lelaki itu seolah tak menganggap ada kehadirannya. Pagi hari yang biasanya selalu ada candaan, atau sapaan singkat kini hening begitu saja. Keduanya sama-sama membisu dalam pikirannya masing-masing.
Lantai ruang tengah masih basah saat Aisha berjalan melewatinya begitu saja untuk mengambil baju kotor yang datang menyusul dari satu-satunya pintu kamar yang terbuka pagi itu. Melihat kemeja berwarna abu lengkap dengan sarung yang teronggok di sofa, ia lantas mengambilnya. Namun nahas, langkah kaki berikutnya tak cukup seimbang menopang tubuhnya hingga ia terjengkang ke belakang. Harusnya punggung kecilnya itu sakit karena membentur kayu dari lemari kitab, namun justru ia merasakan ada sesuatu yang mengganjal di belakangnya. Semacam tangan? Ya benar. Tangan siapa? Di rumah ini hanya ada Ning Yuhan dengan ponselnya dan Gus Idris yang baru akan masuk ke kamarnya dengan sigap memutar arah hanya untuk merelakan lengannya sakit akibat menjadi penahan agar tubuh belakang Aisha tidak sakit membentur kayu, karena tidak bisa dibayangkan akhirnya akan sesakit apa jadi ia membiarkan lengannya saja yang merasakan nyeri.
"Pelan-pelan bisa?"
Pertanyaan Gus Idris sukses mengembalikan posisi Aisha saat ini. Wanita itu menunduk, sisa keterkejutannya masih terlihat sekaligus canggung yang ditimbulkan dari suasana ini.
"Mbak Aisha ada yang sakit? Gak papa 'kan? Baik-baik aja kan?" Yuhan yang semula duduk di sofa datang menghampirinya dengan wajah khawatir.
Aisha menggeleng dengan senyum pasi. Masih tak kuasa mengeluarkan suara akibat debar jantungnya yang menggila.
"Abang gak ditanya? Padahal sakit banget loh ini kena pojok lemari," sahut Idris sedikit melirik ke arah Aisha, berharap mendapat simpati dari wanita itu.
"Mana sini liat tangannya," pinta Yuhan. "Lebay banget gitu doang."
"Dih kamu kalo ngomong yah."
"Kan emang bener, yakan mbak Aisha?"
Aisha tergagap, tak tau harus menjawab apa. "Saya izin mau nyuci dulu," ucapnya kemudian untuk mencari pelarian. Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis itu bergegas pergi dari sana. Lalu berakhir terdiam keras seraya memegangi dadanya yang tak karuan di depan westafel.
"Sadar Aisha."
* * *.
Selesai membilas semua pakaian, Aisha gegas membereskan sikat dan sisa sabun yang kotor akibat terkena tanah disekitar balong. Setelah semuanya selesai, gadis itu menggeser dua ember besar berisi pakaian bersih, lalu mengambil ember kecil berisi lap dapur dan keset yang kotor lantas menggilasnya. Setelah dirasa semuanya benar-benar selesai, gadis itu melihat ke sekeliling, mencari keberadaan mang santri untuk dimintai pertolongannya. Namun disana, lebih tepatnya di balong sebelah hanya ada Irsyad. Ya, Irsyad yang juga sedang mencuci perabotan kotor milik Ustadzah Mariam.
"Minta tolong sama mang santri aja angkatnya, sama kamu kayanya gak mungkin deh soalnya cuciannya banyak, berat." Shelma memberi saran kepada dirinya yang juga sama-sama mencuci milik masayikh namun dirinya selesai lebih dulu.
"Iya ini jug--"
"Maaf, mbak ini cuciannya udah semua? Biar saya yang bawa."
Saking lamanya Aisha terdiam, Shelma sampai angkat suara menjawab pertanyaan Irsyad yang menawari diri untuk mengangkat cucian menuju rumah Ustadzah Aminah akibat jarak balong yang jauh.
"Aisha? Cieeeee..."
"Apasih! Udah gak zaman cengcengin aku sama dia," tukas Aisha nampak tak suka.
"Gak zaman apa gak zaman niiih?"
"Cih." Aisha mencebik lantas pergi darisana.
* * *
TBC
Kalo ambil bintang di langit adalah sebuah kemustahilan, maka izinkanlah pembacaku mengambil bintang di sudut bawah sebelah kiri yang tlah ku sediakan😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...