Butuh waktu lama bagi Aisha meski hanya sekedar menghela nafasnya saat orang yang paling ia tunggu keberaniannya untuk datang akhirnya hadir, memasuki ruangan ini dengan tampang yang sangat ia benci setengah mati. Dunianya runtuh saat ini, menemukan fakta bahwa yang menjerumuskannya ke dalam kasus adalah sahabatnya sekaligus saudara dekatnya sendiri, teman tidurnya, juga partner piketnya.
"Duduk Gissya!"
Gadis itu lantas manut, mendaratkan bokongnya tepat di samping tubuh Aisha yang membeku. Pada saat ini, Aisha meyakini satu hal bahwa tidak ada orang yang benar-benar baik di dunia ini, yang ia anggap baik justru dia yang menorehkan luka paling dalam, orang yang ia anggap dekat justru dia yang paling jahat.
"Jelaskan bagaimana awal mula kejadiannya, dengan sejujur-jujurnya." Kali ini, Sofa membiarkan dirinya keluar dari zona nyaman, sungguh ia tak bisa menahan diri lagi melihat kehadiran Gissya disini. Nada suaranya yang tenang namun mematikan membuat bulukuduk gadis dihadapannya meremang begitu saja.
Gissya dengan ringannya mendongak, menatap Sofa dengan arti tatapan yang sulit diartikan. Ia mungkin berfikir, kenapa Sofa begitu dingin padanya sedangkan ia hanya berperan menjadi saksi disini, bukan tersangka. Ini kali pertama ia melihat aura dingin yang dipancarkan Sofa tertuju padanya, sedikit perih mendapat perlakuan ini. Tapi ia tak tau saja bahwa jauh dari persangkanya saat ini, Sofa sudah tau, lebih banyak daripada yang ia tau segalanya. Detik itu juga, saat Gissya memulai ceritanya, Aisha tertunduk begitu dalam dengan hati bergemuruh hebat, membiarkan tanggul air matanya yang ia tahan sekuat tenaga kini jebol begitu saja hingga tumpah ruah.
"Dan waktu aku mau jemur lap di pagar bambu, aku gak sengaja liat Aisha dan Irsyad lagi berhadapan, mereka ngobrol tanpa ada jar--"
"Udah cukup!" pekik Aisha. "Cukup kak cukup!" Telinganya terasa panas dan hampir pecah, Aisha tidak tahan jika harus mendengar lebih banyak cerita yang keluar dari mulut gadis itu. Semua orang yang ada disana, termasuk Gissya sendiri terperangah, seakan reaksi Aisha barusan tidak pernah melintas di pikiran mereka.
"Iya! IYA AKU UDAH NGELANGGAR PERATURAN PONDOK! AKU NGOBROL SAMA IRSYAD DI SAMPING RUMAH USTADZAH MARIAM, PUAS KALIAN?!" Aisha yang tak punya apa-apa untuk dijadikan pembelaan pun akhirnya dengan membabi buta mengakui, bersama luruhnya tangisan yang tak kunjung henti.
Sofa tercekat, nyaris tak ada yang bisa dikeluarkan dari mulutnya dengan lidah yang kelu. Seorang Aisha? Gadis yang ia kenal pendiam dan anti lelaki itu mengakui secara gamblang bahwa dirinya rela melanggar aturan wajib pondok hanya demi lelaki yang dicintainya? Tidak! Itu tidak mungkin, itu mustahil!
"Aisha?!" Sofa bangkit dari tempatnya duduk dengan tatapan nyalang.
"Apa?!" Namun gadis itu malah menantang. "Apa yang harus aku lakukan lagi? Bukankah ini yang kalian inginkan?!" Aisha tak kalah kencang menyahut, sampai ia akhirnya bangkit dan menatap satu persatu orang yang ada disana dengan tatapan bengis.
"Maaf Sha. Tapi kakak laporkan ini demi kebaikan kamu ke depannya. Kakak hanya ingin, kamu jangan sampai mengorbankan harga diri kamu demi lelaki yang kamu cintai, udah cukup sampe sini, kakak harap ke depannya kamu bisa menjaga hawa nafsu dan ego kamu. Mau secinta apapun itu, kamu harus bisa mikir kita lagi dimana dan keadaannya sedang apa. Kita di ponpes, sedang tholabul ilmi, kakak harap kamu mengerti sampe sini," tutur Gissya masih berusaha menenangkan.
Aisha memalingkan muka dengan tatapan jijik bukan main, enggan menatap sahabatnya, namun secara dalam waktu yang bersamaan ia malah mendapati jendela yang kini menggelap akibat dipenuhi beberapa santriyah yang mengintip dari luar hingga menghalangi cahaya masuk. Dan ia yakin, bahwa mereka sudah sepenuhnya menyimak obrolan di dalam, termasuk pengakuannya tadi.
Lagaknya tak jauh beda bak seorang pengacara setelah menang membela korban di pengadilan, Tyas tersenyum puas pada titik akhir penghakiman ini. Selesai, dengan epilog: Aisha mengakui, dengan gamblang dan tegas bahwa dia sudah melanggar peraturan pondok yang wajib dipatuhi. Jika saja ada palu kayu disini, mungkin sudah ia ketuk sekarang untuk benar-benar menyelesaikan sidang ini, tapi tak perlu benda itu pun, jajaran pengurus memilih bubar untuk kemudian turut membubarkan anak-anak di luar. Kini yang tertinggal di dalam hanya tiga orang, Aisha, Sofa, dan gadis itu.
Di antara nafasnya yang masih naik turun tak beraturan, Aisha merasa tanah yang ia pijak berputar lalu meremang, tak lama setelah itu tubuhnya ambruk bersandar diantara dinding yang dingin.
"Aisha?"
Gadis itu geming saat Sofa merunduk memastikan keadaannya. Aisha menggelang, menepis pelan tangan Sofa yang mencoba menyalurkan kekhawatiran atas kondisi dirinya saat ini.
"Aku mau ngomong empat mata sama kak Gissya," ucapnya datar, tersirat nada pengusiran yang kental.
"Sha? Kakak butuh penjelasan dari kam--"
"Gak ada yang perlu dijelaskan. Semua udah selesai!"
Sofa geming, ia paham. Lantas dengan begitu ia memilih keluar dari ruangan itu dengan sedikit rasa kecewa yang ditimpakan pada sikap Aisha. Keheningan yang terjadi setelah Sofa pergi, seolah membawa angin magis yang meniupkan keberanian dalam diri Aisha untuk kemudian kembali bangkit, berdiri tepat dihadapan Gissya.
"Puas?" Intonasinya memang tenang, namun justru itu yang menjadi masalahnya sekarang. Aisha mengikis jarak diantaranya dan Gissya, hanya untuk membuat gadis itu mundur perlahan-lahan. "INI 'KAN YANG KAMU INGINKAN? JAWAB!"
Merasa tersulut, dengan ringannya Gissya mendorong bahu Aisha hingga gadis dihadapannya itu nyaris terjatuh ke belakang. "Jangan berani teriak di depan wajah gue," papar Gissya tak kalah menusuk.
Aisha berdecih, memalingkan muka seraya berusaha menekan emosinya sekuat tenaga.
"Iya! Ini yang gue inginkan dari lo. Tapi belum selesai sampe disini, besok lo harus berurusan sama Gus Adam..." Aisha mendongak dengan tatapan nyalang, menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu selanjutnya, "Yang artinya, lo harus ngelakuin hal sama kaya yang lo lakuin hari ini, bedanya, besok jalankan drama ini dengan sedikit lebih tenang." Gissya terkekeh, mendekatkan bibirnya di telinga Aisha yang mati-matian menahan sesak dalam dadanya. "Ekting lo bagus, gue suka," bisiknya disertai seringai menjijikan.
Tepat setelah mengatakan itu, Gissya melenggang pergi, namun belum sempat gadis itu sampai di depan pintu, Aisha kembali bersuara....
"Aku pikir kamu udah bener-bener tobat."
Gissya tertawa, seolah-olah perkataan Aisha adalah sebuah lelucon yang lucu. Namun alih-alih menanggapi, gadis itu malah pergi begitu saja. Tepat setelah pintu tertutup, tubuh Aisha tumbang seolah energinya sudah disedot habis oleh amarah yang terpenjara dalam dadanya. Sungguh ia benar-benar lelah, namun untuk menampari pipinya sendiri ia masih punya cukup kekuatan untuk meninggalkan bekas merah disana.
"Aku benci orang munafik! Tapi aku lebih benci pecundang kaya kamu Aisha!"
* * *
TBC
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Dalam Untaian Doa (END)
Teen FictionBudayakan vote dan coment sebagai tanda dukungan❤️ Ketika Aisha Putri Adila menginjakan kaki di Pondok Pesantren An-Nur dengan pemandangan pantainya yang menjadi ciri khas lekat, ia bertemu dengan Ahmad Idris Assegaf, seorang Gus tampan berhati ding...