Tiga Puluh

1K 142 19
                                    

💜💜💜💜

Woojin menuruni tangga dengan semangat. Ia akan menunjukkan pada Ibunya, bahwa dirinya memiliki prestasi yang bagus. Woojin juga mulai meninggalkan kebiasaan buruknya, seperti bolos, berkelahi, bahkan merokok.

"Sarapan dulu, Kim Woojin."

Woojin menghentikan langkahnya ketika menuruni anak tangga terakhir. Ia melihat ayahnya masih menggunakan celana pendek, sambil memegang teflon.

"Ayah tidak ke kantor?" Woojin mengerutkan keningnya. Biasanya, ia akan melihat ayahnya sudah berpakaian rapi, bersiap untuk berangkat ke kantor.

"Ayah sudah buat roti bakar. Makanlah dulu sebelum berangkat."

"Aku buru-buru," sahut Woojin. Ia pergi begitu saja, mengabaikan Seokjin. Ia masih marah, karena Seokjin menamparnya. Dari situ ia bisa menilai, bahwa ayahnya memang lebih sayang pada perusahaan dari pada dirinya. Bahkan ia dilahirkan karena perusahaan itu, bukan karena kasih sayang.

Seokjin menghela nafasnya. Ia harus sabar menghadapi Woojin. Akhirnya ia menikmati roti buatannya sendiri.

.

.

****

Woojin masih terus mengabaikan ayahnya. Selain itu, ia pun semakin sering mengunjungi Sojung. Mengetahui bahwa Woojin tak memiliki ibu, hal itu membuat Sojung dengan senang hati menjadi figur ibu untuk Woojin.

"Tinggal bersama ayah saja, atau Ibu saja, semua itu harus disyukuri. Kau mungkin sedih karena tak memiliki ibu. Tapi kau juga harus bangga pada ayahmu. Tak mudah menjadi orang tua tunggal. Sama seperti bibi, berusaha memberikan yang terbaik untuk Soobin, agar dia tak kekurangan kasih sayang," Sojung memberi nasihat pada Woojin, saat Woojin mengeluh tak pernah mendapat kasih sayang ibu.

"Tapi Ayah hanya sibuk dengan pekerjaannya," sahut Woobin dengan wajah kesal.

"Lihatlah dirimu sekarang. Pasti banyak anak yang ingin di posisimu. Masih banyak anak yang tidak memiliki orang tua, bahkan tempat tinggal. Jangan lupa bersyukur, Woojin," Sojung mengusap pelan kepala Woojin.

"Baik, Bi," sahut Woojin dengan terpaksa.

Walaupun kasih sayang Seokjin tulus, Woojin tidak pernah percaya, karena yang ia tahu, Seokjin hanya ingin menjadikannya pewaris, bukan karena tulus menyayanginya.

.

.

.

"Kau selalu menghabiskan waktu di perpustakaan?" Woojin kembali duduk di hadapan Soobin yang sedang mencatat.

"Begitulah. Aku tidak ingin Ibu terbebani hanya untuk membeli buku pelajaran. Walau pun aku tahu, ibu akan mengusahakannya, tapi kondisi keuangan ibu masih belum stabil. Hyung tahu sendiri kan? Toko kue ibu belum terlalu ramai," jelas Soobin.

"Ck! Kenapa tidak bilang? Aku masih menyimpan buku tahun lalu."

"Benarkah? Boleh aku meninjamnya?" Soobin tampak berbinar.

"Kau boleh memilikinya. Lagi pula, aku sudah tidak menggunakannya lagi," sahut Woojin.

Soobin tentu saja senang. Walau pun ia tahu, ibunya masih sanggup membiayainya, Soobin ingin mengatasinya sendiri selagi ia mampu.

.

.

****

"Oh, Woojin? Kau langsung pulang? Ayah pikir, kau bermain bersama temanmu," Seokjin yang sedang sibuk di dapur, menyambut kedatangan putranya.

Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang