Empat Puluh

730 102 5
                                    

💜💜💜💜

Cuaca yg tidak terlalu panas, disertai angin yang berhembus sepoi-sepoi, menemani dua orang pria yang duduk sambil menatap danau.

Keduanya tak ada yang berbicara. Mereka seolah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Menurut ayah, ibu cantik?"

Seokjin menatap Woojin, yang matanya tetap fokus menatap ujung pancingan. Bibirnya tersenyum, melihat putranya yang sudah tumbuh dewasa.

"Cantik," sahut Seokjin santai.

"Ayah pernah jatuh cinta pada ibu?"

"Jatuh cinta?" Seokjin menyandarkan punggungnya pada kursi lipat yang mereka bawa.

"Entah lah. Ayah tidak begitu yakin. Tapi, ibumu adalah wanita yang berbeda."

Tidak ada lagi suara dari mulut Woojin. Mungkin ia sedang mencari pembahasan yang lain.

"Kau ingin bertemu ibumu?"

"Menurut, ayah?" Woojin memberikan pertanyaan lain kepada Seokjin.

"Kau ingin tinggal bersamanya?"

"Kenapa? Karena aku sudah tidak menjadi pewaris perusahaan, ayah ingin menyerahkan aku pada ibu?"

"Itu terdengar sangat kejam," Seokjin terkekeh.

"Awalnya aku memang menginginkan pewaris untuk perusahaan. Tapi setelah kau lahir, dan ibumu begitu sangat menyayangimu, membuatku berubah, untuk memberikan yang terbaik untukmu. Memang keinginan untuk menjadikanmu pewaris masih belum berubah," Seokjin bercerita panjang, sambil menatap tengah danau. Ia seolah mengingat kembali, masa-masa kelahiran Woojin.

"Aku memberimu fasilitas yang baik, agar kau tumbuh menjadi pria yang hebat. Jadi saat aku sudah tak bisa bekerja, kau bisa melanjutkan perusahaan itu tanpa kesusahan mencari pekerjaan," lanjut Seokjin.

Woojin mendengarkan dengan serius, apa yang Seokjin sampaikan.

"Berjanjilah," ucap Woojin yang membuat Seokjin tak mengerti.

Seokjin hanya menatap Woojin, menunggu puteranya melanjutkan ucapannya.

"Berjanjilah untuk hidup lebih lama. Aku tidak mungkin tinggal bersama ibu. Dia sudah punya kehidupan yang baru," lanjut Woojin.

Seokjin memandang Woojin penuh makna. Ia tak percaya, jika Woojin menginginkannya untuk terus bersamanya.

"Sungguh? Ayah tentu akan terus hidup untukmu. Tidak ada alasan lain. Tapi jika tuhan memanggil ayah, kau bisa ikut bersama ibumu," Seokjin terlihat sumringah.

"Ibu tidak menginginkanku," sahut Woojin datar.

"Siapa bilang? Dia begitu menyayangimu."

"Harusnya dia datang, jika dia benar-benar menyayangiku," Woojin terlihat kesal.

"Dia pasti punya alasan," Seokjin merasa, Woojin sebenarnya sudah tahu tentang ibunya.

"Alasannya, karena dia lebih menyayangi kehidupan barunya. Dia tidak ingin aku masuk di kehidupan barunya," Woojin berbicara sangat tenang, namun tersirat akan kekecewaan.

"Woojin... kau harus tahu, bahwa ayahlah yang salah. Ibumu hanya takut jika bersamamu, ayah akan mengambil kehidupan barunya."

"Sama saja," sahut Woojin.

Baik Seokjin, mau pun Woojin tidak lagi berbicara. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing, sambil memandang ujung pancingan yang terlihat tenang.

"Percayalah, baik ayah atau ibu, kami menyayangimu. Ayah yang menginginkan ibumu untuk melahirkanmu, jadi ayah akan terus bersamamu. Jangan khawatir," Seokjin tersenyum, memandang Woojin yang hanya diam. Ia tahu, bahwa sebenarnya Woojin sedang sedih. Ia tahu, bahwa Woojin takut ditinggalkan.

Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang