Tiga Puluh Satu

841 137 23
                                    

💜💜💜💜

Seokjin masih terus berusaha memperbaiki hubungannya dengan Woojin. Sudah kesekian kalinya mendapat penolakan, namun Seokjin tak putus asa.

"Woojin, ayo sarapan," Seokjin memasang wajah cerahnya, ketika Woojin turun dari tangga, hendak berangkat sekolah.

"Aku buru-buru," Woojin tentu saja menolak tawaran Seokjin.

"Setidaknya kau harus sarapan sedikit saja," Seokjin terus membujuk Woojin.

Woojin mendesahkan nafasnya lelah. Akhirnya ia memutar tubuhnya ke arah dapur. Seokjin terlihat senang, akhirnya Woojin mau mendengarnya, namun senyumnya berubah ketika Woojin memilih mengambil roti tawar, dari pada memakan masakan Seokjin.

"Ternyata dia lebih suka roti tawar," gumam Seokjin, sambil menatap punggung Woojin yang menjauh.

Sudah terbesit rasa lelah di hati Seokjin. Haruskah ia menyerah? Woojin begitu keras, dan bahkan enggan berkomunikasi dengannya. Jika memang ia tak berhasil membuat Woojin menjadi penerus, maka ia harus memikirkan langkah selanjutnya untuk perusahaan, dan juga masa depan Woojin.

Sesuatu yang keras, tidak akan berhasil jika dilarang dengan kekerasan. Oleh sebab itu, Seokjin memilih untuk terus berusaha bersikap baik, sampai Woojin benar-benar luluh.

Walau pun masakannya tak pernah Woojin makan, Seokjin tetap memasak setiap hari. Intensitasnya ke kantor pun mulai berkurang, karena ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Woojin lebih suka pergi sekolah menaiki motornya, dari pada harus diantar oleh Seokjin.

.

.

Seokjin telah selesai berbelanja kebutuhan dapur, dan beberapa kebutuhan rumah lainnya. Sebelum pulang, ia memilih untuk singgah di sebuah Coffee Shop terdekat, sambil bersantai.

Sekarang ia baru menyadari, apa yang Jungkook katakan, ada benarnya. Hidup itu, tak selamanya tentang bekerja. Ada kalanya, kita butuh 'rumah' untuk pulang, dan beristirahat. 

Seokjin tertawa kecil. Mentertawakan hidupnya, yang berjalan tidak sesuai apa yang ia harapkan. Memiliki putra dengan harapan menjadi penerus perusahaannya, justru sebaliknya, putranya enggan dengan apa yang ia harapkan. Bahkan kini, ia merasa kesepian, dan semua pencapaiannya mulai tak berarti.

Seokjin hanya memandang jalanan yang ramai dengan kendaraan yang lalu lalang. Sebagian pejalan kaki sedang menunggu lampu penyeberangan menyala, untuk menyeberang. Ia memperhatikan setiap orang yang melintas. Mulai dari remaja, pekerja kantor, juga ibu muda yang membeli banyak barang belanjaan hingga kedua tangannya penuh.

Melihat hal itu, Seokjin merasa, hanya dirinyalah yang tidak memiliki semangat. Ia ingin kembali bersemangat bekerja seperti dulu, seperti saat ia menantikan seorang putra yang akan meneruskan usahanya. Kini semangat itu hampir pudar, saat Woojin membenci dirinya.

Seokjin bangkit dari duduknya, berjalan menuju arah penyeberangan jalan. Ia memungut satu kantong tepung yang tercecer dari kantong belanja seorang ibu.

"Permisi, belanjaanmu terjatuh," Seokjin menyodorkan tepung, sebelum wanita itu menyeberang.

"Ah, terima kasih."

.

.

****

.

.

"Ah, terima kasih," Sojung mengambil barang belanjaannya yang tercecer.

"Sojung?"

Sojung tentu saja langsung mendongakkan kepalanya, ketika seseorang mengenalinya.

Tubuh Sojung serasa membeku, saat melihat sosok yang sangat ia hindari sejak menginjakkan kakinya kembali ke Seoul. Sojung menelan ludahnya, dengan nafas terdekat. Dengan segera ia berbalik, dan langsung menyeberangi jalan, saat lampu pejalan kaki berubah warna menjadi hijau.

Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang