Tiga Puluh Delapan

844 129 19
                                    

Saat akan tidur pun, Seokjin masih terpikir tentang kebetulan yang cukup mengejutkan. Menurutnya, dunia begitu sempit. Bahkan, Woojin lebih dulu bertemu Sojung.

"Itu artinya, Woojin dan Soobin bersaudara, bukan?" gumam Seokjin. Iya sampai menutup mulut, saking terkejutnya.

"Sangat tidak terduga. Woojin satu tingkat diatas Soobin, berarti mereka hanya berbeda satu tahun."

Seokjin tertawa hambar. Informasi yang ia dapat, bahwa Sojung akan menikah, ternyata benar. Awalnya ia menduga itu hanya bohong, karena Sojung ingin menghindarinya.

"Tapi, kemana suaminya? Soobin pernah bercerita jika dia tak punya ayah."

Seokjin merasa kasihan, karena Sojung harus berjuang sendiri. Andai waktu itu ia bergerak lebih cepat, mungkin ia bisa menahan Sojung.

.

.

.

****

.

"Ayah akan mengantarmu," ucap Seokjin, ketika Woojin turun dari tangga.

Woojin tak menjawab, ia hanya mengernyitkan keningnya.

"Ayah mau kemana?" Woojin memperhatikan ayahnya sudah berpakaian rapi, seperti akan pergi ke kantor.

"Ke kantor."

"Bukannya Ayah sudah menjualnya?"

"Ayah tidak menjual semuanya, jadi masih ada pekerjaan yang harus ayah kerjakan."

Woojin hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Seokjin menuju mobil.

"Soobin itu, sebelumnya tinggal dimana?" Seokjin membuka obrolan, karena merasa sunyi.

"Di desa kecil di pulau Jeju."

"Benarkah? Lalu, mengapa dia pindah ke Seoul?"

"Soobin kan sakit. Jadi dia harus rutin berobat," sahut Woojin santai. Ia ingin ayahnya tahu, betapa sulitnya hidup ibunya. Ia berharap, Seokjin tidak menyusahkan hidup Sojung lagi.

"Sakit apa?" Seokjin merasa sedih, mengingat Soobin adalah anak yang ceria.

"Dia punya kelainan jantung. Sebenarnya, dia harus segera operasi, tapi belum dapat pendonornya."

Seokjin semakin merasa prihatin pada Sojung. Wanita itu sangat berat hidupnya sejak dulu.

.

.

****

.

Woojin melangkah dengan santai, setelah Seokjin mengantarnya hingga depan sekolah.

Mingyu yang juga baru sampai sekolah, langsung menghampiri Woojin.

"Hei, tumben sekali kau bersama ayahmu," Mingyu merangkul bahu Woojin.

"Memangnya salah?"

"Tidak juga," Mingyu memamerkan senyumnya.

"Ya! Kau sudah lama tidak bergabung. Geng ular itu menantang kita untuk balapan," bisik Mingyu.

"Tidak usah diladeni. Mereka hanya mencari perhatian," sahut Woojin.

"Mereka selalu mengatakan bahwa kita pengecut," keluh Mingyu.

Sejak Woojin berhenti berkelahi dan balap liar, gengnya menjadi bahan olokan oleh geng lawan mereka.

"Jika kau tak terima, kalian bisa melawannya tanpa aku," Woojin menghempaskan pantatnya pada kursi.  Mingyu menyusul duduk di depan Woojin  lalu menghadapkan tubuhnya ke belakang, menghadap Woojin.

Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang