"Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar menetap. Semua yang terjadi adalah tentang diri sendiri."
🥑🥑🥑
Waktu menunjukkan pukul 11.17 saat Raya dan yang lain tiba di salah satu vila milik keluarga Dokter Cakra di daerah Parangtritis, namanya Vila Kencana. Begitu memasuki gerbang, sejauh mata memandang akan disambut dengan hamparan hijau rerumputan yang menyejukkan mata. Sekitar jarak 10 meter dari pagar hitam yang menjadi pembatas antara area vila dan jalanan, ada rumah tingkat 2 dengan model minimalis namun ternyata begitu luas.
Sejauh mata memandang? Iya. Kecuali mata Raya. Tentu saja pemandangan indah itu tak lepas dari para penghuninya. Jujur, bentuk makhluk di sini sedikit lebih menyeramkan daripada yang biasa Raya temui.
Vila Kencana ini dibangun oleh pamannya Dokter Cakra sebagai hadiah untuk ponakannya saat resmi menjadi dokter. Di dalamnya ada 2 kamar di lantai atas dan 3 kamar di lantai bawah.
"Cewek-cewek mau di atas apa di bawah?" tanya Dokter Cakra yang membuat Nadia seketika mendelik horor.
Raya yang mengerti kemana arah otak sahabatnya itu lantas menjitak Nadia. "Otak lo, ya!"
"Aw! Sakit, Ay!" Protes Nadia sambil mengusap bekas jitakan Raya di kepalanya.
Tanpa mempedulikan Nadia, Raya menjawab pertanyaan Dokter Cakra. "Aku mau di atas aja, Kak. View-nya lebih bagus kayaknya."
"Okay. Good night, Sayang." Dokter Cakra mengecup sekilas kening Raya, membuat gadis itu tersenyum sipu.
"Night too, Kak," balasnya. Dokter Cakra yang merasa gemas pun tak tahan untuk tersenyum lebar.
Mendapat persetujuan dari yang lain, para perempuan pun naik ke lantai atas. Raya memutuskan untuk sekamar dengan Aletta, sementara Nadia bersama Malika.
Sepeninggalan para kaum hawa, Dokter Cakra berkata, "Di sini kan ada tiga kamar, terserah kalian mau pilih kamar mana dan sama siapa. Saya akan tidur di kamar belakang."
Sembari menyeret kopernya, Dokter Cakra menuju kamar yang ada di paling belakang, tapi juga paling luas. Kamar yang selalu menjadi pilihannya tiap berkunjug kemari.
Kini, tersisa Gio, Akmal, dan Afta di ruang tengah.
Akmal menatap dua lelaki itu, lalu bertanya, "Kalian mau sekamar apa gimana?"
"IYA!"
"ENGGAK!"
Sangat kompak, pikir Akmal. Bola matanya menatap Gio dan Afta bergantian, heran. "Terserah, deh. Gue duluan." Sambil menyeret koper, Akmal melangkah menuju kamar depan yang pintunya terbuka lebar. Meninggalkan Gio dan Afta yang masih saling diam.
"Gue boleh sekamar sama lo, kan?" Afta memecahkan keheningan di antara mereka.
Tanpa pikir panjang, Gio menjawab dengan tegas, "Nggak. Lo sendiri aja. Gue sekamar sama Akmal. Lagipula, ada yang mau gue obrolin sama Akmal."
Mendengar jawaban Gio, Afta terkekeh. Matanya menatap lekat pada kakak lelaki Raya itu. "Lo takut sama gue?"
Sejenak, Gio menegang. Entah mengapa Afta tampak menyeramkan sekarang. Aura di sekelilingnya terasa mencekam.
Apa ada hantu sepasang suami istri yang sedang bertengkar?
Yang benar saja!
Cepat-cepat Gio menetralkan ekspresinya. Ia menatap Afta heran. "Ngapain gue takut sama lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RALILAC
Horror"Ada yang bisa bikin kamu pergi dari aku nggak?" "Ada." "Apa?" "Kalau bola mataku ketemu." *** Ini kisah 'sederhana' antara Raya dan teman tak kasat matanya, Lilac. Si setan gemoy yang selalu ada di setiap momen dalam hidup Raya, meski Lilac sendiri...