Nadia yang memang sejak tadi fokus menyimak, menegakkan tubuhnya. Gadis itu menatap tiga orang di dekatnya secara bergilir. "Jadi, gini ceritanya. Waktu kita di Jogja, Raya sama Dokter Cakra pisah sama kita-kita, 'kan? Nah, pas kita on the way buat ketemuan di Malioboro, di mobil gue sempat pinjam kameranya Afta. Asli, gue cuma niat lihat hasil foto selama kita di pantai. Tapi, gue malah lihat yang lain." Jeda sejenak. Ekspresi serius tercetak jelas di wajah Gio, Raya, dan Dokter Cakra. "Gue lihat, banyak banget foto Gio. Banyaknya tuh nggak wajar. Bener-bener kayak stalker."
"Anjing!"
Nadia mendesis mendengar umpatan pelan tapi penuh emosi yang bersumber dari Gio. "Terus, lo ingat nggak, Yo, pas kita di rest area? Aletta yang waktu itu ke toilet, keluar dalam keadaan memar di bibir kayak habis ditonjok, 'kan? Lo udah tahu siapa pelakunya?"
"Afta?"
"Iya."
Bukan. Bukan Nadia, Raya, atau Dokter Cakra yang menyahut, melainkan seorang perempuan yang berdiri di belakang mereka.
"Lo di sini, Al?" tanya Raya.
Sembari Aletta mendekat, Nadia berkata, "Gue yang nyuruh dia kesini. Gue rasa, Aletta perlu terlibat. Gimanapun, dia termasuk korbannya Afta."
"Kenapa kamu nggak cerita?" tanya Gio pada Aletta yang sudah duduk di sampingnya.
"Aku nggak mau kamu gegabah. Kita harus kumpulin bukti dulu kalau mau bikin orang itu jera."
Lalu, suasana menjadi hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Di tengah keheningan itu, Dokter Cakra bersuara. "Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mendengar penjelasan dari Andra. Bukan nggak mungkin kalau kematian Isna sebenarnya ada sangkut pautnya sama Afta. Sekarang kalian setuju, kan, kalau saya bilang Afta itu gila?"
Semuanya otomatis mengangguk. Menyetujui opini Dokter Cakra. Kemudian, mereka sepakat untuk bertemu dengan Andra di apartemen Dokter Cakra besok sore.
🥑🥑🥑
Malam semakin larut. Waktu menunjukkan pukul 00.16, namun seorang gadis dengan piyama warna peach yang sejak tadi memejamkan mata tak kunjung terjun ke alam mimpi. Sejam lebih Raya coba untuk tidur, namun semakin lama malah matanya terasa semakin segar. Entahlah, Raya merasa gelisah. Padahal tak ada makhluk asing yang berisik di kamarnya. Hanya ada Angel, Pingkan, dan Romi di sana.
"Kalian tahu nggak Lilac kemana?" tanya Raya pada ketiga temannya. "Seminggu lebih dia nggak muncul."
Ditanya begitu, Angel, Pingkan, dan Romi saling pandang. Jelas sekali di mata Raya, ada sesuatu yang janggal di sini. Ia hapal betul bagaimana tingkah teman-temannya itu. Dan saat Raya ingat-ingat lagi, mereka memang lebih banyak diam.
'Ceklek!'
Suara pintu yang dibuka dari luar membuat Raya menoleh. Tampak sosok Rose berdiri dengan ekspresi heran di sana. "Lho, belum tidur, Ay?" Usai menutup kembali pintu kamar putrinya, Rose melangkah mendekat dan mengambil posisi persis di samping Raya yang kini sudah duduk bersila.
"Belum, Ma," jawab Raya sambil tersenyum tipis.
"Tadi Mama ke kamar kamu niatnya mau ngecek aja, eh ternyata emang belum tidur." Jeda sejenak. "Mikirin apa, sih?"
Raya menghela napas berat. "Lilac. Udah lama aku nggak lihat dia, Ma. Semenjak aku pulang dari Jogja, Lilac sama sekali nggaj muncul. Dia kemana, ya?"
Hening.
KAMU SEDANG MEMBACA
RALILAC
Horror"Ada yang bisa bikin kamu pergi dari aku nggak?" "Ada." "Apa?" "Kalau bola mataku ketemu." *** Ini kisah 'sederhana' antara Raya dan teman tak kasat matanya, Lilac. Si setan gemoy yang selalu ada di setiap momen dalam hidup Raya, meski Lilac sendiri...