|38.| Dia Bukan Lilac

91 12 2
                                    


"Lewat sini aja, nggak apa-apa. Biar cepet. Ayo!"

Biar cepat. Oke. Raya yang memang sudah sangat ingin bersenang-senang dengan Lilac, segera mengambil ancang-ancang untuk menghampiri sosok itu. Namun, sebuah suara menginstrupsi.

"Dia bukan Lilac, Raya!" teriak Pingkan.

Raya menoleh ke arah Pingkan, lalu tatapannya kembali pada sosok Lilac yang masih melambaikan tangannya di bawah sana.

"Aku Lilac. Aku teman kamu, Ay. Ayo sini. Loncat sekarang!" ucap sosok itu.

"Raya, sadar! Dia bukan Lilac!" Kali ini, Rokky yang bersuara.

"Dia jahat, Raya. Dia bukan Lilac," sahut Angel.

Ingin rasanya mereka menarik Raya agak gadis itu aman. Tapi apalah daya, sentuhan saja tidak bisa.

"Raya, masuk ke kamar sekarang!" tegas Rokky.

"Ay, ayo main! Ayo loncat sekarang!"

Suara teman-temannya dan suara sosok Lilac di bawah sana terus bersahutan. Sejenak, Raya menangkup kedua telinganya. Gadis itu menatap 'Lilac' dan teman-temannya secara bergilir.

"Aku yang selama ini temani kamu." Sosok Lilac kembali bersuara. "Kita saling bercerita. Apa kamu lupa, Ay? Mereka tidak akan ada tanpa aku."

Benar juga, pikir Raya. Selama ini, Lilac yang selalu menjadi tempatnya mencurahkan isi hati. Lilac adalah sosok pertama yang ia cari saat terbelenggu masalah. Lilac sudah seperti keluarganya sendiri.

Dengan perlahan, Raya mulai menaiki pagar balkon. Gadis itu mengambil ancang-ancang untuk loncat. Sampai tiba-tiba ....

"RAYA!"

Suara bariton yang menggema di telinga Raya, bertepatan dengan tubuhnya yang limbung karena ditarik paksa.

"Apa-apaan kamu, Ay?!"

Kedua mata Raya mengerjap cepat. Gadis itu menoleh ke kanan-kiri dengan ekspresi bingung. "Ta-tadi ada Lilac, Pa." Raya menatap lamat ke arah Gilang. "Dia ngajakin aku main. Lilac udah balik, Pa."

Mendengar jawaban putrinya, Gilang menghela napas berat. Tanpa mengucap apapun, Gilang merengkuh Raya. Tangannya bergerak mengusap lembut punggung putrinya itu. Gilang tidak tahu harus berkata apa. Lelaki itu memilih diam.

Sementara Raya, tatapannya mengarah pada Rose yang sejak tadi termenung di pintu balkon. "Ma, Mama lihat tadi kan? Ada Lilac, Ma! Aku beneran lihat dia."

Mengabaikan ucapan Raya, Gilang dan Rose menggiring putri mereka untuk masuk kamar. Rose menuntun Raya untuk duduk di sofa panjang yang terletak di depan kasur, kemudian disusul Gilang usai menutup pintu balkon.

"Ma, Mama percaya aku kan? Tadi beneran ada Lilac." Rupanya, Raya masih berusaha mencari validasi atas kebenaran akan yang ia lihat tadi. Bagaimanapun, Rose memiliki kemampuan yang sama sepertinya.

"Ay, dengerin Mama." Rose mengunci manik mata Raya. Wanita paruh baya itu bisa melihat kegelisahan di balik mata putrinya. Rose tahu, Raya pun tidak begitu yakin dengan apa yang dilihatnya tadi. "Lilac itu sahabat kamu. Sejak kecil, dia sama sekali nggak pernah berusaha membawa kamu ke hal-hal negatif. Bahkan, dia yang bantu Mama awasi kamu. Itulah sebabnya Mama biarin dia ada. Terus kalau sekarang dia datang dan minta kamu loncat dari balkon, apa mungkin?" Rose menghela napas sejenak. "Dia bukan Lilac, Sayang."

Tumpah sudah tangis Raya di sana. Karena terlampau kalut dengan isi kepalanya sendiri, Raya sampai tidak mampu untuk sekadar membedakan mana Lilac yang asli dan yang bukan.

RALILAC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang