|43.| Udahan?

168 12 0
                                    

"Kak?"

Mendengar suara yang begitu familiar di telinganya, Dokter Cakra refleks mendorong pelan Amala agar menjauh. Laki-laki itu dibuat kaget saat mendapati gadisnya dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca.

"A-Ay?"

"Aku lagi sakit tau, Kak. Udah tiga hari. Terus mama nganterin aku kesini buat diperiksa. Untungnya nggak kenapa-kenapa, sih. Cuma stress dan akhirnya demam. Tadinya aku mau ke ruangan Kakak. Aku mau selesaikan masalah kita. Tapi, ternyata Kakak lagi sama cewek? Pantesan seminggu betah banget nggak ngabarin aku." Raya tertawa pelan. Miris.

"Ay, nggak gitu. Saya---"

"Adik kamu, Cak?" Entah sengaja atau tidak, Amala bersuara.

"Iy---"

Belum sempat Raya menjawab, Dokter Cakra terlebih dahulu menyela. "Dia calon istri saya." Kemudian, Dokter Cakra menatap Raya. Diraihnya tangan gadis itu yang terasa hangat. "Ikut saya sekarang."

Tanpa aba-aba, Dokter Cakra menggeret pelan tangan Raya. Membawa gadis itu ke ruangannya. Meninggalkan Amala yang heboh berteriak memanggil Dokter Cakra.

"Apaan sih, Kak? Nanti kalau mama nyariin gimana?" protes Raya sesaat setelah masuk ke ruangan Dokter Cakra.

Gadis itu hendak beranjak, namun dengan cepat Dokter Cakra menghentikannya. "Diem di sini. Duduk," ucapnya sambil mengarahkan Raya duduk di sofa. Tangan Dokter Cakra kemudian beralih mengambil ponselnya. "Hallo, Tan?"

Raya menatap heran laki-laki di hadapannya. Siapa yang ia telepon sekarang?

"Iya, saya izin bawa Raya, Tan."

"...."

"Iya, ada yang mau saya bicarakan sama Raya."

"...."

"Oke, makasih, Tan."

Sambungan telepon terputus. Rupanya, Dokter Cakra baru saja menelepon Rose. Ponsel yang semula di tangan, Dokter Cakra lempar begitu saja ke atas meja. Kini, sorot matanya terfokus ke arah Raya.

Ditatap sedemikian intense, Raya mengalihkan pandangan. Matanya menatap ke arah jendela yang menampilkan hiruk-pikuk rumah sakit.

Ah! Lebih tepatnya, ke arah sosok nenek berambut gimbal di luar jendela yang tengah menatap lekat ke arahnya.

"Kamu salah paham, Ay."

Raya diam. Enggan membalas ucapan lelaki di hadapannya. Melihat itu, Dokter Cakra menghela nafas sejenak. Ia memposisikan diri jongkok di hadapan Raya. Jari telunjuknya meraih dagu Raya, kemudian memutarnya hingga tatapan mereka bertemu. Dokter Cakra dapat merasakan suhu tubuh gadisnya yang hangat. Rupanya, Raya benar-benar sakit.

"Perempuan yang kamu lihat tadi, namanya Amala. Dia teman kuliah saya. Udah lama banget kami nggak ketemu. Habis jam praktek saya habis tadi, rencananya saya mau langsung ke rumah kamu. Saya nggak sengaja lihat Amala di ruang tunggu, pas saya panggil buat memastikan, tiba-tiba dia meluk saya. Belum sempat bereaksi apapun, kamu tiba-tiba datang. Saya juga kaget dia tiba-tiba meluk saya. Lagian, seharusnya kamu lihat, saya nggak balas pelukannya kan?"

Iya, sih. Raya membenarkan dalam hati. Matanya sempat melirik ke tangan Dokter Cakra tadi, dan memang benar yang laki-laki itu katakan. Raya mengangguk singkat sebagai jawaban, namun mulutnya masih terkunci rapat. Ia masih enggan berbicara.

Dokter Cakra mengerti. Raya pasti merasa sangat sakit hati dengan ucapannya tempo hari. Apalagi, sebelum ini status Dokter Cakra adalah psikiater Raya. Ia yang selalu menenangkan gadis itu saat gelisah. Tapi kemarin, rasanya Dokter Cakra sudah sangat keterlaluan.

RALILAC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang