|37.| Pelaku Sebenarnya

224 13 1
                                        


Semua orang di dalam ruang tamu apartemen Dokter Cakra sedang fokus menonton sebuah rekaman CCTV. Menampilkan seorang perempuan yang tampak berjalan sempoyongan bersama laki-laki. Keduanya memasuki sebuah kamar hotel dengan nomor 155. Waktu di layar menunjukkan pukul 02.33.

Lalu, 5 jam kemudian seorang perempuan keluar dari kamar itu dengan penampilan yang jauh dari kata baik. Rambut berantakan, baju cumpang-camping, dan jangan lupakan langkahnya yang terseok-seok juga kegelisahan yang terpampang jelas.

Tanpa sadar, air mata Raya menetes. Jelas sekali itu Isna, sahabatnya. Raya tak pernah tahu bahwa Isna pernah mengikuti sebuah pesta yang berujung petaka. Isna menutupi semuanya dengan rapi.

Lanjut ke rekaman CCTV. Dari arah berlawanan dengan Isna, seorang laki-laki muncul dan langsung memegang kedua bahu perempuan itu. Semua yang melihat rekaman itu jelas bisa melihat bahwa ada Andra di sana.

"See? Itu gue. Gue datang dari arah berlawanan sama Isna, bukan dari dalam kamar. Jujur, gue juga shock banget saat itu," ucap Andra.

"Kalau memang gitu kejadiannya, kenapa rekaman ini tidak kamu serahkan ke polisi saat di pengadilan?" tanya Dokter Cakra.

"Rekaman CCTV itu baru saya temukan seminggu lalu. Ada salah satu teman saya yang menjadi pegawai baru di sana, kebetulan dia di bagian keamanan, jadi bisa akses CCTV."

Kali ini, Gio yang bertanya, "Kalau emang bukan lo pelakunya, kenapa lo nggak ngelak kesaksian Raya?"

Mendengar pertanyaan itu, Andra menghela nafas berat. Bola matanya bergilir menatap Dokter Cakra, Raya, Gio, Aletta, dan Nadia. "Ada satu fakta yang belum kalian tahu. Gue dan adik gue, Afta, udah sahabatan sejak kecil sama Isna."

"Maksudnya?" Raya dengan cepat menyahut. Ini telinganya tidak salah dengar, 'kan? Bagaimana mungkin Raya sama sekali tak pernah tahu soal ini? "Bukannya Isna baru pindah ke Jakarta waktu masuk SMP?"

"Sejak kecil, gue dan Afta di-didik untuk bersaing. Dalam segala hal. Sampai akhirnya Afta masuk TK dan ketemu Isna. Suatu hari Isna pengen main ke rumah kita. Ceritanya dia minta gantian, karena selama mereka kenal selalu mainnya di rumah Isna. Afta dengan tegas nolak, karena dia nggak mau Isna ketemu gue. Bagi Afta, gue adalah saingan utamanya. Sekali dua kali Afta nolak, tapi Isna terus merengek sampai nangis.

"Afta yang nggak tega memutuskan untuk nurutin kemauan Isna. Dan yang terjadi berikutnya, bener kekhawatiran Afta terjadi. Isna malah lebih tertarik buat main sama gue. Sebenernya kehadiran Isna bawa dampak positif untuk hubungan gue dan Afta, kita jadi lebih sering main bareng. Terus sampai mereka naik kelas empat SD, Isna pindah rumah sama keluarganya." Afta menatap Raya, seolah mengisyaratkan bahwa inilah jawaban dari pertanyaan gadis itu. "Dia emang pindah lagi ke Jakarta waktu masuk SMP. Dan saat itu, Isna ketemu Raya."

"Soal party itu?" Nadia bertanya. Rasa penasaran dalam dirinya benar-benar sudah di ubun-ubun. Andra tidak mungkin menceritakan masa lalunya jika tidak berhubungan dengan kasus ini.

"Itu pesta ulang tahun gue." Terdengar helaan nafas berat menguar dari saluran pernapasan Andra. "Semuanya memang salah gue. Waktu itu ulang tahun gue yang ketujuh belas. Gue pengin yang beda. Akhirnya, digelarlah party di hotel. Awalnya orang tua gue nggak setuju, tapi gue maksa. Tapi sumpah, gue beneran nggak tahu kalau ada minuman beralkohol di ulang tahun gue malam itu."

"Terus ngapain lo ke hotel pagi-pagi?" tanya Gio.

"Temen gue ada yang lapor, kalau Afta masuk ke kamar hotel bareng sama cewek. Sayangnya, gue baru baca chat temen gue itu paginya pas gue baru bangun tidur."

"Dan di malam itu semuanya terjadi?" Raya menatap nanar ke arah Andra yang mengangguk pelan. "Afta pelaku sebenarnya? Terus kenapa lo baru bilang sekarang? Kenapa waktu persidangan lo diam aja?"

RALILAC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang