🔥VOTE🔥
🔥VOTE🔥
🔥VOTE🔥•••
"Tak harus sama, tapi harus searah."
🥑🥑🥑
Titik-titik putih yang menyilaukan menyambut indra pengelihatan Raya begitu kedua matanya terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit dengan dominasi warna putih. Aroma alkohol yang begitu menyengat pun menyapa indra penciumannya.
Bisa ditebak, kan, di mana Raya sekarang? Ya. Rumah sakit.
"Ssshhh ...," desis Raya saat merasakan perih di sekujur tubuhnya. Gadis itu memejamkan mata sejenak, lalu kembali membukanya saat menyadari ada yang bertumpu di tangan kirinya.
Saat Raya menoleh, darahnya berdesir sebab mendapati Dokter Cakra sedang tidur dalam posisi duduk dan memeluk tangan kiri Raya. Mengapa tangan kiri? Ya, karena ada infus di tangan kanan gadis itu.
Raya sudah membuka mulut, siap meluncurkan panggilan 'kak' yang sudah di ujung lidah. Namun belum sempat Raya bersuara, Dokter Cakra terlebih dahulu bangun.
"Ay? Kamu udah sadar?" Dokter Cakra menegakkan tubuhnya. "Mana yang sakit, hm? Saya panggil dokter dulu."
Usai mengucap kalimat terakhir, Dokter Cakra melesat keluar ruangan. Tadinya Raya hendak mencegah, sekaligus mengingatkan bahwa Dokter Cakra tak perlu memanggil dokter, sebab dirinya sendiri bisa memeriksa Raya, bukan?
Raya tertawa kecil. Mungkin jika dalam kondisi sehat, ia akan terbahak-bahak melihat kelakuan calon suaminya itu.
"Berdosa sekali kamu, Ay. Orang panik malah diketawain."
Raya menoleh ke sumber suara. Lebih tepatnya, di sofa panjang yang terletak di sudut ruangan. Ternyata sudah ada Lilac, Rokky, Angel, dan Lee Mark di sana.
"Kalian?" lirihnya.
Belum sempat Raya menuntaskan lisannya, sebuah suara bariton menginstrupsi. "Raya, saya periksa sebentar, ya."
Dokter Hani, begitu tulisan pada name tag yang Raya baca di jas putih dokter wanita paruh baya itu. Secara fisik, umurnya sekitar 40 tahun.
Pandangan Raya beralih pada seorang laki-laki berwajah kusut yang sejak tadi berdiri di belakang Dokter Hani. Bola mata lelaki itu tak lepas dari wajah Raya barang sedetikpun. Setelah diperiksa dan mengonfirmasi bahwa kondisi kesehatan Raya sudah stabil, Dokter Hani pamit.
Sepeninggalan Dokter Hani, Dokter Cakra melangkah mendekat. Manik matanya masih menyelam di bola mata Raya. Wajah kusut, mata sayu, rambut berantakan, entah apa yang telah terjadi dengan laki-laki itu.
Berdiri tepat di samping Raya, tangan Dokter Cakra mendarat dan mengusap lembut pipi gadis itu. Raya dapat menangkap sorot penuh kekhawatiran sekaligus lega di balik mata Dokter Cakra.
"Kak ...."
"Kenapa, hm? Haus?" tanyanya lembut.
Raya mengangguk singkat. Dengan sigap, Dokter Cakra meraih air mineral botol lengkap beserta sedotan yang tersedia di atas nakas. Lalu, dengan hati-hati membantu gadisnya minum.
"Mau duduk?" tanya Dokter Cakra lagi.
"Dia sangat peka," celetuk Lilac.
"Betul," sahut Angel.
Mendengar itu, Rokky berdecak malas. "Gue juga bisa!"
Sontak saja, kalimat bernada super percaya diri itu mendapat lirikan sinis dari Lilac dan Angel.
KAMU SEDANG MEMBACA
RALILAC
Horror"Ada yang bisa bikin kamu pergi dari aku nggak?" "Ada." "Apa?" "Kalau bola mataku ketemu." *** Ini kisah 'sederhana' antara Raya dan teman tak kasat matanya, Lilac. Si setan gemoy yang selalu ada di setiap momen dalam hidup Raya, meski Lilac sendiri...