|29.| Soal Takdir

115 18 4
                                    

"Nuntut Pak Ahmad juga nggak bisa hidupin Dara lagi, 'kan? Udah, Pa. Cabut aja tuntutannya."

"GIO!"

"YO!"

Teriakan lantang itu bersumber dari dua orang perempuan yang tengah menatap nyalang ke arah Gio. Bagaimana tidak? Mereka akan melepaskan begitu saja pelaku yang sudah merenggut nyawa Dara? Semudah itu? Tidak akan!

Gio menghela napas, sebelum berkata, "Ma, Ay. Kita udah dengar penjelasan dari Pak Ahmad, 'kan? Ini semua murni kecelakaan. Terus mau nuntut apalagi? Kasihan juga istri sama anaknya Pak Ahmad kalau Pak Ahmad dipenjara. Anaknya masih kecil---"

"DARA JUGA MASIH KECIL, YO!" Raya berteriak penuh emosi. Gadis itu berdiri, menatap saudara kembarnya begitu bengis. Kilatan amarah berpendar sangat jelas di balik mata merahnya. "Dara masih kecil dan dia butuh keadilan! Gue nggak mau tahu, siapapun yang salah, harus dihukum!"

"Ay, jangan egois---"

"EGOIS LO BILANG?!" Dada Raya naik-turun tak beraturan. Egois katanya? Raya egois? Hey! Gio ini sebenarnya sayang atau tidak dengan mendiang adiknya? "Dara meninggal, Yo. Lo dengar gue? ADIK GUE MENINGGAL GARA-GARA DIA!" Jari telunjuk Raya mengarah pada lelaki yang tengah bersimpuh di samping kakinya.

Ya. Pak Ahmad masih di sana. Dengan posisi yang sama pula.

"Tapi, Ay. Semua yang terjadi itu takdir---"

"Takdir?" Kali ini, Rose yang bersuara. Wanita itu mengambil langkah mendekati sang putra. Siapapun yang melihat mata Rose sekarang, pasti dengan mudah menangkap sorot kekecewaan yang begitu mendalam. "Andai aja ... andai saja laki-laki itu mau sedikit tanggung jawab. Andai dia mau bantu mama bawa Dara ke rumah sakit secepatnya. Mungkin ... mungkin Dara masih bisa selamat."

Rose mengusap kasar cairan bening yang leleh di pipinya. "Kamu tahu, Dara meninggal karena apa? Kekurangan darah, Yo. Terlalu banyak darah yang keluar dari tubuh anak itu. Kamu nggak tahu, 'kan? Mama lihat sendiri. Mama saksinya. Gimana taxi itu dengan tega melindas tangan mungil Dara. Kamu pikir, ibu mana yang terima lihat kondisi anaknya yang sedemikian mengenaskan? Kalau kamu bicara takdir, lantas bagaimana tanggung jawab dari pelaku? Hm?"

"Ma ... maksud aku---"

"Cukup!" Tangan Rose menengadah. Terkuras sudah jiwa dan raganya untuk ini. Sebagai ibu, Rose hanya ingin anaknya mendapat keadilan. Bola mata Rose bergilir, menatap Gio dan Gilang secara bergantian. "Kalau kalian mau cabut tuntutannya, terserah. Tapi aku sebagai ibunya Dara, sekaligus korban, nggak akan pernah ridho untuk lepasin pembunuh anakku."

Lalu, Rose masuk ke rumah. Meninggalkan orang-orang yang gelisah di sana.

"Assalamu ... alaikum." Dokter Cakra tampak terkejut melihat pemandangan di kediaman keluarga Bimantara sore ini. Banyak pertanyaan berocokol di kepalanya. Terlebih, saat melihat seorang pria asing dalam posisi berlutut dan Raya yang tampak tak baik-baik saja.

Tanpa kata, Raya berjalan ke Dokter Cakra. Menyambar tangan kekar lelaki itu, lalu menyeretnya keluar rumah.

🥑🥑🥑

Terhitung satu jam lamanya Dokter Cakra berdiam diri di balkon apartmentnya. Menemani seorang gadis bermata sembab yang terus saja melamun. Ya. Dokter Cakra memutuskan membawa Raya ke apartment tempat tinggalnya setelah puluhan kali bertanya kemana Raya ingin pergi, dan puluhan kali pula gadis itu hanya bungkam.

Dokter Cakra meletakkan cangkir berisi kopi susu ke tempat semula. Helaan napas berat menguar entah untuk keberapa kalinya. Sungguh, hatinya sakit melihat raut sedih tercetak jelas di wajah cantik Raya. Baru saja gadis itu pulih, kembali tertawa dan ceria, namun hari berat kembali menyapanya.

RALILAC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang