"Life must go on, right?"
🥑🥑🥑
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam saat seseorang mengetuk pintu ruangan Gilang. Kedua alisnya bertaut heran. Selama 2 bulan berturut-turut ia lembur, tak pernah ada yang menganggunya di atas jam sepuluh malam.
"Masuk," ucap Gilang.
Tak lama, pintu terbuka. Menampilkan seorang pria dewasa dalam balutan kemeja abu-abu pekat. "Boleh masuk?" tanyanya.
Gilang yang sempat terperangah dengan kehadiran pria itu pun lantas mengangguk. Bola mata Gilang tak lepas barang sedetik pun dari pergerakan pria itu. Hingga akhirnya, mereka duduk berhadapan.
"Gue turut berduka cita atas kepergian Dara."
Mendengar itu, Gilang tersenyum tipis. Senyum yang tampak sangat dipaksakan. "Thank's, Bang."
"Tadi gue ke rumah, sama Dania dan anak-anak juga. Kami cuma ketemu sama Rose dan Raya. Waktu gue tanya lo sama Gio kemana, mereka bilang nggak tahu."
Gilang diam. Tatapan kosong di balik bola matanya menerawang jauh. Gilang sadar, keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Tapi Gilang juga bingung, apa yang harus ia lakukan? Dia bisa berbenah dengan cara apa, sementara dirinya sendiri juga sedang rusak?
"Dua bulan, Lang. Gue tahu kehilangan Dara itu mimpi buruk buat lo sekeluarga. Tapi, anak lo bukan cuma Dara, Lang."
Kalimat terakhir yang terucap dari pria di hadapannya, membuat Gilang yang semula menunduk jadi mendongak. Gilang menatap lurus bola mata pria itu, seolah meminta penjelasan lebih. "Terus gue harus gimana, Bang?"
Refan menghela nafas sejenak. Nada penuh keputusasaan dari suara adik iparnya membuat dadanya sedikit terasa sesak. "Lo mau dengar saran gue?"
🥑🥑🥑
Gio menatap lurus pintu berbahan kayu di hadapannya. Helaan nafas berat menguar. Tangannya bergerak ke gagang pintu, memberi sedikit tekanan hingga membuat pintu itu terbuka.
Aroma vanila seketika menyeruak. Bola mata Gio beredar ke segala sudut ruangan. Warna lilac mendominasi kamar ini. Semuanya tampak tertata rapi. Kecuali satu, area kasur.
Langkah Gio terasa begitu berat. Seperti ada batu besar yang menindihi kakinya. Rasa sesak seketika menghimpit dada, kala mendapati pil berserakan di lantai.
Gio mengalihkan pandangan ke arah seorang gadis yang tampak tertidur lelap. Dapat dipastikan, kembarannya itu tidur nyenyak usai melahap obat-obatan sialan yang sangat ingin Gio buang.
Ia teringat akan rentetan kalimat yang Afta katakan di sekolah tadi.
"Gue tahu, kehilangan orang yang kita jaga itu rasanya seperti mimpi buruk. Lo boleh sedih. Lo boleh terpukul. Lo juga boleh merasa kehilangan." Jeda sejenak. Afta menatap manik mata Gio yang perlahan mulai tertarik. Setelah berulang kali mencoba, akhirnya Gio mau mendengar.
"Coba lihat Raya, Yo," lanjut Afta. "Adik lo yang lain. Adik lo yang masih hidup dan butuh perlindungan dari kakaknya. Dalam situasi berduka kaya sekarang, harusnya kalian saling merangkul, saling menguatkan. Bukannya berlagak perang dingin gini."
Gio termenung lumayan lama. Ia jadi teringat, bagaimana kondisi kembarannya itu? Apa dia baik-baik saja? Kesehatan mentalnya ... tak lagi memburuk, 'kan?
Gio menghela nafas berat. Pandangannya kembali tertuju pada Afta. Laki-laki itu menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyuman tulus yang sudah lama tak nampak ke permukaan. "Thank's, Af."

KAMU SEDANG MEMBACA
RALILAC
Terror"Ada yang bisa bikin kamu pergi dari aku nggak?" "Ada." "Apa?" "Kalau bola mataku ketemu." *** Ini kisah 'sederhana' antara Raya dan teman tak kasat matanya, Lilac. Si setan gemoy yang selalu ada di setiap momen dalam hidup Raya, meski Lilac sendiri...