"Kadang, kita tidak perlu mengalami peristiwa yang sama untuk mendapat pelajaran atas apa yang terjadi."
🥑🥑🥑
Tiga bulan berlalu.
Kata Laila, ia tak ingin menuntut keadilan apapun. Tujuannya meminta tolong pada Raya adalah agar gadis itu jangan terlalu percaya pada orang-orang di sekitarnya.
Dulunya, Laila adalah gadis yang hidup sebatang kara. Di hari kecelakaan pun, polisi menyatakan kasus tabrak lari yang Laila alami adalah kecelakaan biasa. Mengingat tak ada bukti, saksi mata, atau seseorang yang menuntut atas terjadinya kecelakaan itu. Kalau pun kasusnya kembali dibuka, untuk apa? Toh Laila sudah meninggal dunia. Ia hanya ingin menyampaikan pesan pada Raya.
Kini, Raya, Nadia, Aletta, Malika, Gio, Akmal, dan Afta sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta. Mereka baru saja berangkat usai menjemput Malika.
Akmal selaku pemilik mobil duduk di kursi kemudi. Tentu saja ada Nadia di sampingnya. Bangku tengah ada Raya, Aletta, dan Malika. Sementara di bangku paling belakang ada Gio dan Afta.
Dan hal itu membuat Raya sangat gelisah.
Jangan tanya dimana Dokter Cakra. Sebab sejak H-3 keberangkatan, Raya memaksa kekasihnya itu untuk ikut. Tapi, Dokter Cakra selalu menolak dengan alasan yang sama: sibuk, banyak pasien.
"Waduh! Kamera gue ketinggalan," ucap Afta sesaat sebelum mobil yang mereka tumpangi masuk tol. Untung saja.
"Mau balik?" tanya Akmal.
Akhirnya, mereka terpaksa putar balik ke rumah Afta. Niat awal memang mereka akan foto-foto menggunakan kamera digital milik Afta selama di Yogyakarta. Satu momen yang jarang terjadi, harus diabadikan dengan indah, bukan?
Lima belas menit waktu yang ditempuh untuk sampai di rumah Afta. Sang pamilik rumah bergegas turun. Disusul Gio yang ingin numpang ke toilet.
Gio kembali terlebih dahulu. "Duduk belakang sama gue, Ay," ucapnya.
"Hah?" Raya yang semula sibuk membalas chat dari Dokter Cakra menatap bingung ke arah Gio.
"Duduk sini," ulang Gio sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.
"Kenapa?" tanya Raya heran.
"Udah. Duduk sini. Cepet!" Sedikit memaksa, Gio menarik tangan Raya. Gadis dalam balutan hoodie warna baby blue itu pun mau tak mau menuruti permintaan Gio.
Belum lama Raya menempati kursi belakang, Afta datang. "Lho? Raya kenapa pindah?" tanyanya penuh selidik.
"Disuruh Gio." Raya melirik kembarannya yang tampak tak acuh.
"Tapi---"
"Buruan naik, Ta. Keburu siang." Nadia memotong. Mereka memang berniat sampai di Yogyakarta sore hari agar dapat menikmati sunset di Parangtritis.
Dengan muka masamnya, Afta duduk di samping Aletta. Hal itu membuat Raya seketika meringis pelan. Afta benar-benar menyeramkan.
Setelah semua siap, mobil berisi tujuh orang itu mulai membelah jalanan. Suasana perjalanan begitu hening. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Mengabaikan Akmal dan Nadia yang tengah saling menyuapi camilan di depan.
Raya, sejak tadi gadis itu bertanya-tanya. Tak sulit bagi Raya untuk tahu ada yang salah dengan Gio. Dan di tengah rasa penasaran itu, Lilac bersuara, "Dia sudah tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALILAC
Horreur"Ada yang bisa bikin kamu pergi dari aku nggak?" "Ada." "Apa?" "Kalau bola mataku ketemu." *** Ini kisah 'sederhana' antara Raya dan teman tak kasat matanya, Lilac. Si setan gemoy yang selalu ada di setiap momen dalam hidup Raya, meski Lilac sendiri...