"Kalau rasa sakit bisa hilang semudah terlontarnya kata maaf, apa fungsi air mata yang selalu menyertainya?"
🥑🥑🥑
"Ini kenapa?" tanya Dokter Cakra sembari menyingkap lengan jaket yang Raya kenakan. Bola matanya mengunci manik mata Raya, tak mengizinkan gadis itu untuk berpaling sedikitpun. "Jawab, Ay."
Bulu kuduk Raya meremang seketika. Aura penuh intimidasi yang Dokter Cakra keluarkan sungguh menyiksa. "Nggak kenapa---"
"AY!"
Raya terlonjak kaget. Indra pengelihatannya menatap Dokter Cakra dengan berkaca-kaca. Selama mengenal lelaki di sampingnya ini, pertama kali Dokter Cakra membentaknya.
Dokter Cakra menghela napas berat. Ia membanting belakang kepalanya ke sandaran kursi kemudi. Dokter Cakra memejamkan mata rapat, berusaha sekuat tenaga meredam emosi yang bergejolak. Sementara gadis di sampingnya sudah terisak lirih.
"Ay---"
"Jangan ikut campur, Lil," sahut Rokky cepat. Lilac menatap tak suka ke arah Rokky, namun tak ayal sosok itu kembali diam.
"Maaf," lirih Dokter Cakra. Jemarinya bergerak menyentuh tangan Raya yang gemetar. Rasa bersalah lantas hinggap di hatinya.
Raya masih enggan membalas sang dokter. Gadis itu diam seribu bahasa. Masih terkejut dengan nada suara tinggi yang pertama kali keluar dari lelaki yang selama ini hanya bersikap lembut.
Mata Raya membola saat merasakan benda kenyal mendarat di punggung tangannya. Ya. Dokter Cakra mencium tangan Raya dengan lembut. Sangat lembut.
"Maafin saya, Ay."
Baru selesai menetralisir rasa kagetnya, Raya kembali dibuat tercengang saat merasakan punggung tangannya basah. Raya sedikit menoleh sambil melirik Dokter Cakra, gadis itu lantas melotot saat melihat sang dokter yang menunduk dengan cairan bening berkumpul di sudut mata.
"Kak?" panggil Raya pelan.
Mendengar Raya bersuara, Dokter Cakra langsung membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Kedua lengan Dokter Cakra mengunci pergerakan Raya. Wajahnya terbenam di antara ceruk leher gadis itu.
"Dia nangis, Ay?" tanya Lilac dengan tampang cengo.
Raya tersenyum geli dalam diam. "Kayaknya iya, deh, Lil. Gemes banget!"
"Ma-maaf." Suara rendah nan berat itu teredam oleh isakan tangisnya. Dokter Cakra mendongak, matanya yang merah menatap ke arah Raya yang masih bergeming. Seolah enggan meresponnya. "Ay ... maafin saya ...!"
Raya masih diam. Berusaha mati-matian untuk tidak menyemburkan tawa. Jujur, sebenarnya sejak tadi gadis itu sudah luluh. Ia mengerti, Dokter Cakra hanya refleks saat membentak tadi.
"Ay ... peluk saya donggg!" Dokter Cakra kembali menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Raya. Laki-laki itu terisak hebat di sana.
Ah! Raya jadi gemas sendiri.
Sembari tersenyum geli, perlahan Raya mengangkat tangannya untuk membalas pelukan Dokter Cakra. Akibat sentuhan itu, Dokter Cakra mendongak. Mata hitamnya bertemu dengan bola mata Raya. Ekspresi gadis itu masih datar, namun dengan membalas pelukannya saja, mampu membuat bulan sabit hinggap di bibir Dokter Cakra.
"Ay ...," panggil Dokter Cakra dengan suara serak.
"Hm?"
"Mau 'kan, maafin saya?"
Raya mengangguk, membuat Dokter Cakra lantas tersenyum lebar. Lelaki itu hendak bersuara, namun terlebih dahulu Raya berkata, "Tapi ada syaratnya."
"Apapun itu. Akan saya kabulkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALILAC
Terror"Ada yang bisa bikin kamu pergi dari aku nggak?" "Ada." "Apa?" "Kalau bola mataku ketemu." *** Ini kisah 'sederhana' antara Raya dan teman tak kasat matanya, Lilac. Si setan gemoy yang selalu ada di setiap momen dalam hidup Raya, meski Lilac sendiri...