Meski biru lambang kesedihan- idiom bahasa Inggris, tapi bendera itu kuning. Semua tahu artinya apa. Berkibar tertiup sepoi angin di bawah langit cerah.
Raung tangis terus terdengar setiap detiknya, orang berkostum hitam silih berdatangan membawa simpati dan sepatah dua patah kalimat kedukaan, tentunya ada doa tersempil agar kami yang ditinggalkan berlapang dada.
Sebenarnya aku tidak perlu didoakan untuk ikhlas melepasnya ke akhirat sana, toh aku tidak berkabung sedikitpun. Ibaratnya begini deh, memangnya harus menangisi kepergian wabah corona yang sudah merenggut dan mengganggu kehidupan banyak orang? Kan, tidak!
Agak berlebihan memang perbandingannya. Dia tidak separah virus tersebut sampai menelan korban jiwa, hanya nyaris saja. Gara-garanya, aku selalu tercekik kesulitan bernapas padahal oksigen berterbangan bebas di muka bumi ini.
"Inara ajak Mbakmu pulang, bantu tenangin dia." Pesan om Rahman seusai menabur habis bunga di keranjang. "Om harus pamit sekarang, bibimu kasihan ditinggal sendirian lagi hamil besar."
Om Rahman ini satu-satunya kerabat yang datang karena domisili kami berdekatan, maksudku masih seJabodetabek. Lain hal dengan ibu dan adikku di beda provinsi sana. Mereka absen hadir. Sebenarnya bukan karena jarak, lebih ke kondisi ibu yang kurang memungkinkan. Beliau punya jadwal operasi dua hari lagi.
Entahlah, dunia memang sebecanda ini mempermainkan jatah hidupku di dunia. Ayah meninggal mendadak, ibu yang selama ini sehat dan semangat banting tulang belakangan tubuhnya dihinggapi kanker, lalu mbaku yang kini sedang meratapi kepergian suaminya tak kalah memberatkan hidupku.
Enam bulan lamanya setengah gajiku raib, menggelontor lancar untuk menghentikan kejaran debt collector.
Puncak dari hutangnya yang menggunung, ia harus rela melepas rumahnya karena disita bank. Iya, rumah yang dijadikan suaminya tempat menggantung diri dini hari tadi. Rumah yang depan pagarnya tertancap bendera kuning.
"Nara, mas Zidan udah tenang di sana. Bagaimanapun dia tetap kakak iparmu, Mbak minta tolong lepas semua jengkel kamu, maafin dia ya." Pintanya seraya mengusap nisan kayu.
"Hmm." Gumamku malas berdebat.
"Lagian langkah mas Zidan selingkuhin Mbak udah tepat kok. Kalau mas Zidan gak sama Nida mungkin utangnya gak berkurang banyak."
Bola mataku tak tahan lagi, memutar jengah seraya menyeringai sarkas. Selingkuh kok jalan yang tepat? Yakin otak Mbak Amara sehat walafiat?
Memang betul karena bantuan Nida sisa utang piutangnya lebih ringan, tapi harus sekali dengan cara berselingkuh? Dengan cara jadi sugar momynya si Nida Nida itu?
Pria yang bermartabat kukira akan lebih putar otak lagi, cari cara lain yang tidak melukai perasaan istrinya. Ah, aku melewatkan satu hal, selain menyiksa batin belakangan si Zidan keparat itu sepertinya melakukan kekerasan.
Aku menemukan bekas memar di beberapa bagian tubuh Amara, saat kutanya karena apa? Amara bilang jatuh. Aku tentu tidak percaya, mana ada jatuh sampai lebam di banyak titik secara bersamaan. Depan, belakang, penuh biru keunguan.
Cara kerja cinta tuh seperti itu ya? Membutakan mata, hati, nurani dan setiap rasa yang memilukan. Menulikan juga sepertinya karena beribu kali kusadarkan, beribu kali juga Amara menolak kutuntun ke jalan yang benar.
"Kita langsung pulang ke apartemenku aja. Semua barang udah diangkut ke apartemen kan?" Tanyaku membelokkan topik. Enggan membahas parasit Zidan lagi.
"Maaf ya, Na, udah banyak ngerepotin. Mbak janji bakal tebus lunas utang-utang yang kamu cover." Yakinnya tersenyum sok tegar.
Kami berjalan meninggalkan tanah basah berbalut aneka bunga segar tersebut, menuju taxi online yang sudah menunggu di dekat gerbang TPU. Pada dasarnya kematian adalah hal paling menyakitkan. Aku bisa sesenggukan menangisi tokoh drakor yang berakhir dilabeli yellow flag oleh netizen.
Namun betapa dahsyat ketika kecamuk kecewa menyambuk hidupku akan seseorang. Aku bisa seperti sekarang, nurani dan empatiku habis tergerus tak bersisa karena sebuah kekecewaan. Mungkin ini kali yang dinamakan 'seribu kebaikan kalah oleh satu kesalahan'.
Zidan itu dulunya baik, tipe idaman, family man. Selain sayang Amara, ia juga tulus menyayangiku dan keluarga lain. Bahkan beberapa kali juga menanggung uang semesterku. Sayangnya saat trading sedang trend terutama di kalangan circlenya, ia tertarik bergabung. Singkat cerita ia loss sampai di angka 1M.
Angka yang fantastis bukan? Ia kehilangan uang hasil jual tanah dan propertinya dalam semalam. Lagian bisa-bisanya ia menaruh semua simpanan untuk hal seperti itu. Aku buta soal dunia trading, tapi bukankah banyak cerita berseliweran tentang kehilangan harta gara-gara itu? Harusnya saat kusodorkan link mengenai experience kegagalan itu ia bisa tersadar.
Seakan milyaran rupiah belum cukup, ia kehilangan uang lagi saat investasi lain. Entahlah detailnya bagaimana tahu-tahu katanya ia punya utang ke bank dan rentenir dengan bunga yang terus menanjak tiap bulannya.
"Pagi-pagi Mbak mau langsung ke Semarang. Selain karena ibu mau operasi, Mbak mau ngadain tahlilan di kampung." Katanya disela kesunyian perjalanan.
"Terserah." Acuhku tak mau ambil pusing.
"Mbak boleh minjem 5 juta lagi buat bikin acara yang sederhana?" Melasnya menggenggam tanganku.
Napas lelahku berembus seperti responku sebelum-sebelumnya ketika Amara memohon dipinjamkan uang.
Mungkin merasa tidak enak ia berujar lirih. "Maaf, Ina, maafin Mbak. Kali ini aja, plis, seudah ini enggak lagi."
Mungkin jika esok bukan hari terakhirku bekerja, aku tidak akan terlalu pusing dengan angka lima, hanya saja nasib naas sedang menghampiri.
Aku kena lay off, kukira ketika Corona sudah hilang ancaman pengurangan karyawan itu sedikit kemungkinannya terjadi, namun aku lupa porsi sedikit itu bukan berarti tidak akan terjadi. Bukan berarti aku tidak akan mengalaminya.
Betul bahwa perusahaan cukup baik, mereka melunasi setiap kewajibannya. Transferan uang pesangon dan uang terimakasih sudah masuk.
Aku punya uang dan tabungan tapi lagi-lagi tak segampang itu bisa menemukan pekerjaan baru. Dalam masa pengangguran, tabunganku pasti terpakai.
Berhenti bekerja bukan berarti harus berhenti makan juga bukan? Dan disini letak yang membuat neraca keuanganku berat sebelah.
"Plis, ini yang terakhir Na. Mbak janji setelah ibu pulih, Mbak juga akan cari kerja. Mbak akan aktif bekerja lagi."
Tanpa berkata, aku tunjukan proses transaksi yang sudah berhasil. Kedepannya mungkin aku akan super duper hemat. Tidak ada makan steak, beef, pizza, dan lain sebagainya. Mari kembali pada habitat semula. Berpulang pada warteg dan mie instan.
***
"Tapi ada untungnya juga sih perusahaan kita baru tumbang sekarang. Gak pas di awal-awal atau tengah-tengah pandemi." Seseorang berceletuk memetik keoptimisan. "Maksud gue bisnis-bisnis mulai bangkit lagi, pandemi juga diyakini udah gak ada kan? Masuk mall aja gak seketat dulu harus scan-scan peduli lindungi, masker mulai pada copot, nudik diperbolehkan."
"Gue rasa peluang kita dapat kerja lumayan tinggi."
Pendapatnya mendapat balasan amin yang serentak. Tersisa aku sendiri, sebatas diam terpekur menatap layar ponsel. Pesan dari Bara-adikku.
Bara:
Mbak dimana?
Aku punya kabar baik tapi jangan bilang-bilang dulu Mbak Mara ya. Kasian masih berduka. Gak cocok aja momennya.Aku keterima kedokteran dong Mbak, seneng banget, semoga cita-citaku tercapai ya Mbak.
Mbak sehat selalu, murah rezekinya ya🤲Jadi bagaimana harus menanggapinya sementara aku baru saja kehilangan sumber penghasilan?
Tabunganku tidak akan cukup untuk membiayainya. Makin kesini betapa kusadari beratnya menanggung label 'tulang punggung keluarga'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
RomantikUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...