Harusnya aku terima saat Cakra merasa cukup dibayar utangnya dengan membuka blokkan medsos. Bukan apa-apa, aku merasa ia memanfaatkan utang untuk terus mengeksploitasku.
Dia paham betul kelemahan lawannya, ia meminta banyak hal karena tahu pasti akan kukabulkan berkat rasa 'tidak enakkan' yang tumbuh mendarah daging di diriku.
"Perutku laper nih. Ada makanan enggak? Atau kalau enggak mie instan deh?" Entengnya usai menyeruput sedikit kopi panasnya.
Kan, apa aku bilang! Setelah memaksa mengantarku pulang, ikut naik ke apartemen, minta dibuatkan kopi, sekarang minta dimasakin mie. Aku menyebutnya sebagai manusia tidak tahu diri andai sejam yang lalu uangnya tak mengalir ke rekeningku.
"Tapi ini udah malem loh, Cak." Kataku menunjuk angka sembilan di jam dinding sana.
"Ini Jakarta, yakin kamu bilang jam sembilan udah malem?" Alisnya mengangkat seolah ikut bertanya.
Memang betul bagi sebagian orang justru jam-jam ini merupakan awal dari petualangan menaklukan malam. Berkunjung, nongki-nongki asik sambil meliukkan badan ikuti dentum disko. Sebagai pelengkap, sebotol miras akan menemani sampai dini hari.
Tapi ini tentang Cakra dan dia tidak sedang bermain di tempat umum. Bagaimana dia akan menanggapi jika parfumku mungkin saja menempel di tubuhnya? Bisa panjang urusannya. Dituding pelakor, wanita mana yang mau sih?
"Cakra kamu gak pulang aja? Nanti dicariin tahu rasa deh!" Semoga Cakra menangkap keinganku.
"Mamaku gak akan nyariin hanya karena aku anak satu-satunya." Jawabnya enteng seraya menukuri kopinya lagi.
"Maksudku dicariin mamanya Lio, loh. Lio sama asisten kamu mungkin udah pulang eh bapaknya masih di sini."
Rasa-rasanya kalimatku benar, intonasiku biasa saja. Entahlah mengapa Cakra tiba-tiba menatapku serius. Ia bahkan meninggalkan kopinya yang mungkin sudah dingin berkat usaha tiupannya tadi.
Raut seriusnya beringsut jadi rona heran penuh ketidak percayaan, kepalanya bahkan sampai menggeleng beraturan.
"Inara, Inara!" Geleng kepala keheranannya. "Usaha kamu ngehindarin aku totalitas banget ya Na sampe kabar perceraianku gak terendus sama sekali loh?"
Tanpa dibuat-buat mulutku melongo cukup lebar. "Hah, kok bisa sih?"
"Ya, bisa lah. Kita yang menjalin hubungan atas dasar suka sama suka tanpa paksaan aja bisa kandas apalagi aku sama Marissa yang kasusnya ada unsur keterpaksaan."
Sebenarnya arah pertanyaan spontanku tadi bukan ke sana. Aku heran saja kenapa kabarnya tidak sampai telingaku? Apakah teman-temanku seamanah itu sampai menuruti betul apa kataku agar tak membicarakan Cakra di depanku?
Ah, ya terserah lah ya, mau Cakra cerai atau tidak bukan urusanku juga. Lagian tidak ada efek apa-apa mau aku tahu sekarang ataupun tahu sedari dulu.
"Marissa akhirnya nyerah, ia kelelahan sendiri sampai gak bisa bertahan. Mungkin saking muaknya jadi dia selingkuh deh."
"Oh." Kataku sebagai bentuk sopan santun menghargainya.
"Saat aku bilang tunggu aku dua tahun lagi aku gak bohong, Na. Aku bisa ceraiin Marissa dan kita bisa bersama lagi. Tapi sayang aku denger kamu lagi ngejar si manajer pemasaran, si Rusli Rusli itu."
Sementara Cakra mengambil napas untuk kemudian melanjutkan dongengnya, aku spontan menatapnya tajam. "Kok tahu sih sampe nama dan jabatannya juga ngerti?"
Cakra mengangkat bahunya acuh. "Karena perasaanku gak berubah sama sekali. Meski udah jadi suami orang ya aku pantau kamu terus. Sayangnya rasaku bertepuk sebelah tangan, kamu udah berpaling dariku, udah gak serasa lagi kayak aku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
عاطفيةUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...