47. Empat Puluh Tujuh

17.1K 1K 13
                                    

Selamat membaca, vote yaaaw🥰

_______

Bangun tidur di sebelah Cakra semakin terbiasa, namun kebanyakan aku yang selalu ada di posisi Cakra sekarang. Sudah melek lebih dulu dengan tatapan terpana terus memperhatikan. Cakra tersenyum, tangannya terulur mengelus pipiku yang baru mengerjap kumpulkan nyawa.

"Cantik." Matanya tak pernah singgah ke lain arah buat jantungku berolahraga saja. "Kamu ciptaan Tuhan paling indah yang pernah kulihat."

Sialan memang Cakra, pagi-pagi sudah membangkitkan salting. Degup jantungku makin tak karuan, kurasa pipiku sudah memerah. Ah, padahal kata-katanya bagian dari gombalan basi. Sampah yang acap kali didendangkan para mulut buaya darat.

"Jadi salah satu anugerah terindah yang kumiliki juga, Na." Dia makin melebarkan senyum namun matanya terlihat berbeda, sendu. "Aku mau terus berdampingan, sama-sama membangun rumah tangga sampai tua nanti."

Akhirnya aku beranikan merubah posisi, menyamping berhadapan dengan jarak yang kurapatkan. Doa dan harapan kami sudah seirama, kugenggam tangannya erat seraya menyuruhnya sama-sama memejamkan mata. Mari berdoa, siapa tahu Tuhan membersamai.

Amin paling serius kompak kami ucapkan di akhir sesi. Tersentak kaget menemui air mata mengalir setelahnya. Cakra menangis, aku semakin yakin ada kaitannya dengan kejadian semalam saat dirinya terhajar alkohol. Pasti ia menyimpan masalah yang merunyamkan.

"Cak, ada sesuatu kan?" Hati-hatiku mengusap buliran di pipinya.

Cakra makin merapatkan jarak, ia tarik tubuhku ke pelukannya. "Jadi gini ya yang kamu rasain Na pas dulu aku koma, pas kamu liat mataku tertutup berkedut? Kamu takut kehilangan. Sekarang aku juga begitu."

Aku belum membicarakan apa-apa pada Cakra, kuyakin teman-temanku yang tahu soal masalahku takkan membocorkannya. Lalu hal apa yang memicunya merasakan takut kehilangan tersebut? Padahal sikapku semenjak Praja masuk dalam kisah kami tak pernah berubah ke arah yang mencerminkan bahwa aku akan meninggalkannya.

"Aku takut berpisah sama kamu, Na. Aku gak mau hidup tanpa kamu lagi, rasanya menderita banget." Akunya buatku mau tak mau ikut berkaca-kaca.

Aku tarik tubuhku dari pelukannya, kembali pada posisi semula, menyamping tatap wajahnya. "Gak usah mikir aneh-aneh, Cak. Positive thinking aja."

"Lio bener-bener marah karena kita masih berhubungan. Tadi pagi aku dipanggil kepala sekolah. Lio ambil uang sama tablet temannya."

"Hah?" Terperanjat kutanggapi ceritanya. "Kok bisa sih?"

"Gak tahu, katanya sih kecewa sama orang dewasa. Ia mau ngelakuin hal-hal yang selama ini dilarang olehku."

Mustahil karena kekurangan uang. Mungkin ini bagian dari peringatan lanjutan darinya, sebagai bentuk ancaman jika hubungan ini terus berlanjut, dirinya akan menjadi anak pembangkang. Aku merasa satu poin baru bertambah menggenapi alasanku harus meninggalkan Cakra.

Cakra ikut bangkit dari tidurnya, tangannya cepat meraihku untuk kemudian ia genggam. "Tapi masalah ini jangan buat kamu merasa harus tinggalin aku ya, Na. Kita berjuang terus, aku melow bukannya mau menyerah cuma kesel aja kenapa sih semesta tuh merumitkan jalan kita bersama? Demi bersatu banyak hal yang harus kita lawan dan lalui."

Tentu aku tersenyum mengangguk. Cakra kembali menarikku mendekat, ia daratkan kecup di puncak kepala. Mengingat jam dinding terus merangkak naik, aku cepat akhiri. "Jangan bilang hari ini kamu harus kerja juga ya, Cak. Kemarin aku udah mendekam sendirian di sini, masa sekarang juga gitu. Fungsi kekasih di sini tuh sebenernya apa?"

Sendu Cakra pecah, tawanya mengudara. Tampan memikat hati sekali pria ini, Tuhan. Ia balik menatapku. "Memangnya kamu mau ke mana?"

"Jangan mall. Belanja kamu tuh melebihi kaum-kaum aku. Lama banget dapet satu barang juga."

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang