57. Lima Puluh Tujuh

21.8K 1.2K 3
                                    

Selamat membaca🤗

_________

Momen memorable terkadang membantu membentuk penilaian tersendiri. Saat mendapat pelayanan buruk di satu reservasi hotel, mungkin pandanganku terhadap hotel tersebut seberapa orang mereview dengan bagusnya, di mataku akan tetap minus. Barangkali itulah sebab mengapa aku dan Cakra sedikit berpandangan buruk pada tante Iren.

“Apa maksudnya Ma? Mama mau ngapain lagi? Mama mau bertindak gimana lagi buat rusakin hubungan Cakra sama Ina?” Cakra memungut satu persatu barang yang keluar meluncur tercecer dari dus kecil yang tante Iren pegang sebelumnya. “Apa sih Ma?”

“Ya Tuhan, Mama lagi cari inspirasi dari barang-barang ini buat kacauin kayak dulu, iya?” Emosi Cakra melihat beberapa lembar di tangannya. “Asal Mama tahu, kali ini Cakra gak bakal biarin Mama bertindak jauh kayak dulu lagi. Silakan usaha terus, tapi Cakra pastiin bakal gagal. Mama cuma akan buang-buang waktu aja!”

Aku melihat beberapa lembar di tangan Cakra. Merebutnya untuk dilihat lebih detail. Selain lembaran tersebut, ada tespek yang tempo hari tante Iren dan Marissa perlihatkan padaku. Jika mengingat apa yang telah tante Iren lakukan dulu, bagaimana aku dan Cakra tidak berpikiran buruk padanya?

Sebelumnya aku sudah dengar bahwa tespek tersebut bukan milik Marissa tapi aku tidak menyangka untuk menciptakan drama tespek, keduanya bekerjasama begitu epiknya. Ada bukti transfer dua digit pembelian tespek positif pada seseorang bernama Nurul, dan beberapa lembar bukti rekam medis palsu tentang perkembangan janin Marissa sampai akhirnya keguguran.

Aku mengklaim palsu karena dilembar terakhir ada bukti perjanjian antara Marissa dan dokter di klinik tersebut. Entah apa maksud tante Iren menyimpan bukti kejahatan ini? Perbuatan orang-orang yang terlibat di kertas tersebut tentu berpotensi terjerat hukum apalagi dokternya.

“Dalam waktu dekat Cakra sama Inara bakal melangsungkan pernikahan. Lio udah setuju, papa juga. Khusus untuk Mama, mau mama izinin atau enggak gak terlalu berpengaruh. Cakra bakal maju meski tanpa restu Mama.”

“Apa baru aja kamu bilang bahwa restu mama gak penting, iya?” Aju tante Iren mulai tersulut setelah sedari tadi hanya diam.

“Iya. Cakra gak merasa jawaban mama penting!”

Tante Iren tampak menahan gejolak amarahnya. “Cakra, mama kan udah bilang, jangan berurusan sama orang-orang di masa lalu. Fokus ke depan aja.”

“Apa sih Ma? Mama selalu aja mempermasalahin itu. Lagian Cakra gak pernah nganggep Inara masa lalu kok. Inara itu hulu dan hilir, awal dan akhirnya Cakra. Jadi akhir hidup Cakra ya harus sama Ina.”

Tante Iren hendak menimpali sebelum sang suami datang mencegahnya. Dielus-elus lengan atas tante Iren, barangkali sebagai upaya menghasilkan ketenangan. Sebagaimana Cakra mengaku cinta dan sayang padaku, aku rasa pandangan om Anwar pada tante Iren-pun begitu.

“Kalian berdua tenang dulu!” Saran om Anwar lembut. Lantas perhatiannya tertuju pada tante Iren. “Udahlah Ma, Mama emang gak capek? Restuin mereka sebagaimana hati mama mau.”

Aku mendongak dari tempatku berjongkok. Jadi saat ibu dan anak tersebut meributkan hal-hal yang itu saja, aku tertarik memungut sisa ceceran benda yang terjatuh tadi. Figura yang kacanya sudah terperai remuk, di dalamnya ada foto masa muda kami. Maksudku fotoku, Cakra, dan tante Iren sendiri.

Belum juga menemukan jawaban mengapa tante Iren masih menyimpan foto tersebut, aku sudah teralihkan fokus berkat ucapan om Anwar. Restui mereka sebagaimana hati mama mau? Apa maksud kalimat tersebut?

“Mama gak capek ngelawan nurani mama terus? Gak capek bohongin diri sendiri dan orang-orang yang jelas mama sayangi?” Tutur om Anwar semakin buat keningku mengerut bingung. “Tindakan mama cuma buat orang-orang salah paham!”

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang