4. Sadar Yuk Sadar!

38.1K 2.7K 43
                                    

Katanya gaji itu perlu dipos-pos pada bagian tertentu, living, saving, dan playing. Aku mendengar nasehat tersebut dan mengaplikasikannya. Memang betul, keuanganku jadi terkelola dan seiiring berjalannya waktu aku makin percaya bahwa dana darurat dalam hidup itu poin krusial.

Andai aku tak menyiapkan dana darurat, aku ragu hari ini bisa mengunyah dodol khas Garut oleh-oleh Caca dengan santainya karena pasti sudah resmi jadi tawanan tua bangka itu.

Jika pada akhirnya dana darurat itu habis dan terpaksa membawaku ke sini ya jangan  sebut aku tidak becus mengelola uang. Semua salah Amara, mau-mau saja menanggung utang suaminya dan betapa konyol nuraniku, rela berkorban untuk semuanya.

"Udah lo coba aja, belum tentu dapet juga kan?"

Saran Caca saat aku curcol tengah malam lewat sambungan telpon. Aku harusnya ingat hukum semesta pada umumnya, kebanyakan yang coba-coba justru dapat, yang ngesot mampus bisanya gigit jari. Inilah yang kualami hari ini, aplikasi lamaran yang kuniatkan coba-coba itu malah berhasil nyangkut. Ya walaupun belum tentu lolos juga wawancaranya.

"Interview yang bener. Jual diri lo semaksimal mungkin. Jangan karena gak mau kerja di tempat mantan, lo jawab asal-asalan. Lo perlu ingat betapa luas kantor Cakra dan betapa tinggi jabatan dia. Lo gak akan semudah di novel-novel itu buat ketemu petinggi kelas wakil direksi kayak dia."

Petuah Caca yang cukup berhasil mendorongku datang ke menara ini. Menghabiskan dua potong dodol dan seteguk air, aku merapikan diri, mulai meniti langkah menuju lift yang akan mengantarkan ke lantai yang diminta.

Dalam deru napas yang saling kejar dan tubian detak jantung ini aku merapal doa. Tak heran jika kurang mujarab, sujudku selama ini kurang. Sosok yang kata Caca tidak mudah ditemui karena jabatannya tertangkap mata menuju arahku.

Untung saja dia tidak dalam mode jalan normal, matanya tertuju pada ipad yang dipegangnya. Mungkin sudah terbiasa, ia bisa berjalan tanpa menabrak tiang di sekitarnya.

"Sial!" Umpatku bergegas mencari penghalang yang mampu menyembunyikan besar tubuhku.

Karena di sekitar hanya ada pot-pot besar, aku menyembunyikan diri di baliknya. Sambil mengintip dag-dig-dug awasi pergerakannya.

Sedikit kuteliti perawakannya, dia lebih berisi dari saat bersamaku. Tapi bukan yang bergelambir lemak dimana-mana. Cakra sepertinya mulai mengikuti habit orang-orang elit dalam menyingkirkan lemak. Terlihat jelas otot-otot kecilnya menyambul dari balik kemeja. Tegap, kekar, atletis. Idaman cewek milenial sekali.

"Wah, kenapa rasanya dia makin cakep ya?" Gumamku yang langsung kutampar kecil mulutku. "Ih, apa sih! Sadar yuk sadar!"

Sedetik dari Cakra menghilang dibawa lift, baru deh aku menegakkan badan. Kembali jalan gontai mengarah lift yang sama. Lagi-lagi aku sial, hari ini sepertinya bukan harinya aku.

Rok span bagian depan beserta heelsku berubah warna dalam sekejap. Aroma khas jambu biji menempel di sana, meninggalkan noda pula. Sial yang kuharap menjadi sial yang terakhir. Rok ini berwarna putih sebersih kapas. Noda sekecil apapun hinggap di dasar yang putih ya akan menonjol.

"Aduh, tante maaf gak sengaja. Tadi Lio lagi ngejar papah, buru-buru. Maaf sekali lagi tante." Bocah sepinggulku memohon dengan ekspresi gemas.

Dia tidak sendirian, di belakangnya ada seorang pria paruh baya yang sigap menyodorkan tissu. "Sebagai permintaan maaf bagaimana kalau ikut ke atas? Mbak tunggu sebentar, saya yakin pak Cakra- papa Lio mau bertanggung jawab menggantinya."

Saat nama itu disebutkan, mulutku spontan ternganga. Pandanganku teliti memindai sosok kecil tersebut. Setelah diteliti kedua kalinya ternyata mulut yang tadi mengucap kata maaf begitu gemasnya dibingkai bibir tipis mirip Cakra. Mata yang menyorot memohon maaf itu bijinya sewarna dengan Cakra.

Wah, hari apa ini? Bisa-bisanya semesta menambah daftar kesialanku. Pelan terasa jemariku diraihnya, ia menggenggamku seraya menatap lembut.

"Tante ikut ya, nanti aku bilang papa buat gantiin rok sama sepatu tante yang baru sebagai gantinya."

Mana bisa begitu! Mati-matian berhati-hati agar tak bertemu Cakra eh ini malah terang-terangan mengajakku.

Aku menurunkan badan agar sejajar, kuumbar senyum tulus padanya. Bagaimanapun tidak berhak membencinya hanya karena dia lahir bukan dari rahimku.

Ah, maksudku karena ibunya merebut Cakra dariku, yasudah itu urusanku dengan ibunya bukan anaknya. Sebenarnya pelan-pelan aku sudah memaafkannya.

"Tadi namanya Lio kan?" Tanyaku lembut mengelus pipinya. "Tante gak papa kok, gak perlu diganti. Nanti dibilas pake air juga ilang. Karena tante lagi buru-buru, tante duluan ya."

Aku beranjak melambai setengah berlari menuju lift. Aku tahu, aku termasuk hamba yang penuh dosa, kerap melakukan kesalahan baik disengaja atau tidak, tapi aku bersungguh memohon pada Tuhan agar hari seperti ini di kemudian hari tidak terulang kembali. Semoga ini kali terakhirnya aku bersinggungan dengan hidup Cakra dan keluarganya.

***

"Harusnya sebelum lo interview, lo hubungi dulu tuh pak Cakra. Pihak HR paling gak bisa nolak kalo udah ada titipan anak meskipun dari segi skill nol besar." Celetuk Kanaya menyuap tiramisu terakhirnya. "Jalur orang dalam apalagi bawaan wakil direksi pasti bakal diterima tanpa babibu bebo, percaya sama gue."

Aku malas menanggapi. Entah pengumuman ini menjadi kabar baik atau buruk. Baik karena aku tak perlu takut lagi bertemu Cakra, buruk karena tiga hari lagi aku harus bayar sewa apartemen. Lamaranku yang lain tak kunjung memberi harapan.

"Anyway busway kok Caca gak dateng-dateng sih? Kebiasaan banget mentang-mentang jam kerjanya fleksibel jadi ngaret seenak udel." Omel Kanaya melirik gelisah jam di tangan. "Bentar lagi masuk nih. Salamin aja deh buat dia, lain kali kita nongkinya di jam pulang ngantor atau weekend kek. Bye, Ina sayang!"

Julukan ratu ngaret makin pantas Natasha sandang. Tiga puluh menit dari kepergian Kanaya, saat gelasku sudah dua terpesan, ia baru datang menghampiri. Macet jadi alasan andalannya.

"Tapi bagus sih Na, perusahaan yang ngabarin lolos atau enggaknya itu the best banget. HR-nya ngerti gimana gak enaknya digantung-gantung tanpa kepastian." Tanggap Natasha saat kujelaskan tentang email penolakanku.

"Sorry ya Na, gue bukannya gak mau ngebantuin tapi lo tahu sendiri. Emang sih sekarang lagi lumayan banyak job tapi gue juga ada tim yang harus dibayar. Gue harus bayar dua adek kuliah, satunya SMA. Mana terakhir dia mau study tour ke ...,"

"Iya, gue ngerti kok. Gak harus lo jabarin juga gue paham kondisi ekonomi lo." Potongku.

Iya, pada Natasha aku berbagi cerita. Bukan pilih kasih, nanti juga suatu hari aku akan terbuka pada Kanaya kok. Hanya saja hal seperti itu kurang penting saat ini, otakku sibuk mencari jalan keluar.

Saat aku putus dari Cakra, kupikir hidup tanpanya akan begitu menyiksa. Betul sih diawal-awal tersiksa tapi rasanya tidak setersiksa saat hidup tanpa uang.

"Gimana kalo lo pinjem sama Cakra aja? Dia kan tajir melintir." Aju Caca dengan polosnya.

"Lo gila ya? Enggak, gue gak mau!" Tegasku.

"Na, apartemen lo mahal banget. Kalo tibang lima ratus rebu mungkin gue bisa bantu. Atau lo mau pindah aja? Pake dana gue yang 500 ribu buat pindah?" Diskusi Caca, rautnya ikut pusing.

"Barang-barang gue banyak, perlu mobil box buat ngangkutnya. Even gue ada buat kontrakan, buat angkut barangny gak ada." Mumetku menjambak rambut licinku, kemarin aku keingat untuk keramas.

"Kalau gitu kita gunain uang 500 itu buat angkut barang lo aja. Lo tinggal di kontrakan gue gimana?" Tawarnya terlihat tulus.

"Terus adek-adek lo gimana? Gue gak enak ah." Tolakku merasa bukan ide bagus. Sebutlah aku bisa sempit-sempitan tapi bagaimana kalau adik-adik Caca yang keberatan dan terganggu?

"Ya terus lo maunya gimana?" Caca menyedot es tehnya. "Mau pinjol ngeri di bunganya kan? Emang paling bener minjem ke Cakra aja udah. Turunin ego lo."

"Numpang ke Yaya juga kayaknya gak mungkin. Dia juga kan numpang rumah neneknya." Lanjutnya lagi buatku semakin nyut-nyutan.

Perlukah aku menuruti saran Natasha? Tidak apa-apakah jika aku datang secara tiba-tiba pada Cakra untuk pinjam uang? Malu banget rasanya!

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang