23. Adu Mulut Lagi

22.8K 1.7K 14
                                    

Sesuai schedule, upp lagi hari Senin yaaa🤌

Happy reading, vote yagesss🤍

____

Lima belas menit dari adzan isya berkumandang kakiku berhasil menapak depan rumah Cakra. Sebenarnya masih ingin berkumpul dengan Caca dan Kanaya meski obrolannya selalu melenceng bermuara pada betapa rendah tingkat kepekaanku terhadap perasaan sendiri. Namun sayang, aku tak mungkin lupa diri pada statusku saat ini.

Aku bekerja untuk Cakra, sangat tidak mungkin keliaran sesuka hati meski tugas bu Narti telah kusapu bersih. Sementara tugas menjaga Lio, kali ini dihandle dulu oleh Ria.

Menurut infonya Ashar tadi, Lio malam ini akan menginap di rumah neneknya tapi entah mengapa suaranya terdengar menggema dari balkon atas. Selain suara Lio, terdengar suara Cakra juga. Spontan aku melirik jam tangan, benar kok masih pukul tujuh. Tumben sekali dan harus tahu, ada suara wanita melengking keras tak lama dari itu.

Langkahku terhenti. Siapa? Mustahil Ria. Saat kulirik garasi, nihil, sebatas tiga mobil milik Cakra semua.

“Ada bu Iren, Mbak.” Tegur pak Iman, beliau keluar dari pintu samping setelah ambil kopi.

Aku hanya mengangguk berterima kasih selagi pak Iman pamit berlalu ke pos satpam. Sekarang langkahku makin bimbang, apakah harus kuteruskan langkah atau lebih baik pergi saja, jalan-jalan dulu ke depan sebentar, setelahnya baru kembali lagi? Berharap tante Iren sudah pergi.

Kuputar badanku, hendak pergi saja namun bimbang lagi, apa lewat jalan samping saja seperti pak Iman? Ah, sial dua menit aku mondar-mandir sendiri. Tepat di menit ketiga barulah langkahku membeku, cepat aku berlari mengubur diri di antara pilar besar rumah Cakra.

Suara keduanya mendekat, entah bagaimana ceritanya aku selalu mencuri dengar pembicaraan mereka lengkap dengan emosi yang menggebu-gebu. Selalu tentang perbedaan pendapat dan adu mulut, saling keras kepala. Kesalnya selalu ada namaku tersempil dibawa-bawa.

“Mama gak akan urus campur kalo kamu gak berhubungan lagi sama Ina. C’mon Cakra move on, banyak wanita yang mau sama kamu. Anak temen mama juga pada nanya, mereka mau dikenalin sama kamu tapi kamunya stuck terus di Ina.” Tante Iren terdengar frustasi.

“Hidup Cakra termasuk bagaimana Cakra mendidik Lio, bagaimana Cakra mengurus hati Cakra ya bagian hidupku, Ma. Mama udah gak muda lagi, bisa gak sih nikmatin hidup Mama, gak usah repot-repot urusin Cakra. Cakra udah gede dan tahu yang terbaik buat Cakra.”

Tante Iren terdengar mengembus napas lelah. “Tapi gak harus berhubungan lagi sama Ina! Plis Cak, mama janji kalau kamu hidup tanpa Ina, mama bebasin hidup kamu. Silakan kamu mau apa aja, mau ngelakuin apa aja, terserah. Lepasin Ina dari hidup kamu, Nak!”

“Kenapa sih Ma? Salah apa Ina sama Mama?” tanya Cakra tak kalah frustasi. Tanpa sadar aku menegang, aku juga sebenarnya penasaran mengapa tante Ina enggan sekali berhubungan kembali denganku. “Dulu mama sayang banget loh sama Ina, mama bahkan lebih sayang Ina dibanding Cakra, mama gak lagi anggap Ina calon mantu mama tapi lebih ke dianggap anak sendiri.”

“Mama kenapa? Ina salah apa?” todong Cakra. “Maaf banget Ma, tapi kalo bicara salah, di sini justru mama yang salah. Ina gak lakuin kesalahan apa-apa. Mama sadar gak sih?”

Hening cukup lama, karena penasaran aku coba tengok ke TKP, menyambulkan kepala pelan-pelan. Tante Iren ternyata tengah memijat kepalanya pusing, entah apa yang ada di pikirannya.

“Udah ah Mama capek! Pokoknya Lio ke Sanghai biar sama Inara sebagai tugas terakhirnya sebelum kamu pecat setelah gajian nanti.” Putus tante Iren tanpa mau dibantah, jujur aku bingung maksudnya bawa-bawa salah satu kota di negara sebrang.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang