24. Plontos Berulah

21.6K 1.4K 3
                                    

Selamat membaca🤗

___

Selasa pagi ini aku memutuskan pergi wawancara. Hubunganku dengan tante Iren bisa dibilang mengalami kemajuan meski tak seberapa. Kemarin beliau mengirimku whatsapp. Ia bilang aku tidak perlu menemani Lio berlibur ke kediaman Marissa dengan syarat aku ikuti seleksi ini.

Setelah diterima di perusahaan sana, tolong segera pergi dari rumah Cakra. Tinggalkan Cakra dan Lio, jangan berhubungan lagi.

Sederet pesan terakhirnya. Jelas dan padat. Benar, senang hati aku bisa keluar dari rumahnya. Tapi pelan-pelan arah perasaan di hatiku berbelok, ada rasa berat hati di point 'jangan berhubungan lagi'. Terutama dengan Lio, apa aku bisa melakukannya?

"Hey, kenapa?" Cakra di sampingku mengerut bingung. "Gak enak badan? Gak usah dipaksa kalo gitu. Panggilan kerja nanti ada lagi, rezeki gak kemana."

Aku menoleh bergantian antara gedung di depan sana dan wajah tampan Cakra. Sudah seharusnya aku senang, kupaksa bibir melebar tersenyum. Dengan aku bekerja di gedung sana, hidupku akan kembali normal seperti sebelum kemiskinan menjerat.

Hidupku akan damai karena satu-satunya yang dulu kuhindari akan turut kujauhi juga. Cakra akan kutinggalkan, tidak ada lagi sosok menyebalkannya.

"Kita putar arah aja gimana? Pulang aja, ya." Putus Cakra memindai ekspresi anehku.

"Gak papa. Aku cuma gugup aja."

"Yakin?" Tak percaya Cakra.

Lagi-lagi senyumku terbit diantara gerak mengangguk. Saat sudah melangkah mantap meski banyak ragu, Cakra memanggilku.

"Ada yang ketinggalan nih." Teriaknya membuka kaca mobil. Tangannya terlihat mengacungkan benda persegi.

Karena waktu tes masih lumayan lama, aku bertolak memeriksa ke arahnya. Sayang kaca mobil Cakra yang hitam sudah tertutup rapat, mau tak mau aku kembali membuka knop pintunya.

Betapa terkejut saat Cakra sudah berpindah tempat menempati kursiku tadi. Kaca mobilnya hitam, mana tahu pergerakannya berpindah. Andai dipakai untuk beraktivitas tanda kutip pun takkan terlihat dari luar.

"Ngagetin deh!" Komenku kesal. "Apa yang ketinggalan?"

Cakra menarik tanganku, kepalanya maju seiring bibirnya mematuk singkat namun lembut. "Ini yang ketinggalan. Amunisi pagi hari biar semangat interviewnya."

"Ih! Gak lucu deh!" Kataku buang muka, enggan saja menatap wajahnya.

"Gak lucu, tapi enak. Mau lagi gak?" Nadanya menggoda.

"Bodo ah. Jadi barang yang ketinggalan real gak?" Tanyaku mundur selangkah.

Tapi Cakra tidak membiarkan itu, ia tarik kembali tanganku dengan tenaga kuatnya hingga badanku terjatuh di pahanya. Cakra melakukan gerakan yang sama, ia kikis jarak wajah kami. Mata kami saling tertaut hingga saat hidung kami bersentuhan mataku refleks terpejam. Entah apa yang kulakukan. Bersiap untuk diciumnya?

Alih-alih bibir bertemu bibir, justru jemarinya yang mengusap di sana.

Malu aku membuka mata, hendak beranjak tapi Cakra menahan. "Na, kalau ada apa-apa plis bilang. Kamu bebas kok cerita atau minta pendapat dan saran kalau memang kamu lagi butuh didenger. Aku siap dengerin kamu."

Cakra pasti bisa melihat kebimbanganku makanya ia menawarkan diri. Perkara pekerjaan ini asalnya dari mana aku tidak menceritakannya. Aku sekedar mengangguk, tak bosan senyumku mengembang lagi.

Setelahnya aku bangkit, kembali membawa langkah memasuki gedung. Teriakan Cakra mau tak mau membuatku menoleh.

"Good luck, Na! Kalo ada apa-apa jangan lupa hubungin aku!" Tangannya melambai ceria.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang